TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej menjelaskan pasal-pasal kontroversial dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP. Setidaknya ada 15 hal kontroversial dalam draf revisi sebelumnya.
RKUHP ini sebenarnya sudah akan disahkan pada 2019, akan tetapi sejumlah pihak mendesak pemerintah dan DPR RI untuk menundanya. Presiden Jokowi pun harus turun tangan dengan meminta DPR tidak menggelar rapat paripurna pengesahan.
Edy, sapaan Edward Omar Sharif Hiariej, menyatakan bahwa pihaknya telah menyesuaikan sejumlah pasal kontroversial dengan keputusan Mahkamah Konstitusi. Selain itu ada juga sejumlah pasal yang dihapus karena telah diatur dalam undang-undang lainnya.
"Ada yang kami hapus, kami sesuaikan dengan putusan MK (Mahkamah Konstitusi)," kata Edward mewakili pemerintah, dalam rapat bersama Komisi Hukum DPR di Gedung DPR, Jakarta, Rabu, 25 Mei 2022.
Selan itu, Edy menyatakan terdapat pula pasal yang tetap hingga pasal yang mengalami reformulasi tanpa menghilangkan substansi. Edward menyebut pihaknya hanya melakukan penghalusan terhadap bahasa yang ada.
Adapun pasal-pasal kontroversi yang dilaporkan ke DPR hari ini, kata Edward, sudah menampung masukan dari masyarakat usai sosialisasi sepanjang 2021. Rincian pasal-pasal tersebut yaitu sebagai berikut:
1. The Living Law (Hukum Pidana Adat)
Aturan ini tertuang di Pasal 2 tentang living law. Dalam bagian penjelasan disebut bahwa yang dimaksud hukum yang hidup adalah hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seorang patut dipidana adalah hukum pidana adat.
Selanjutnya, pemenuhan kewajiban adat setempat diutamakan jika tidak pidana yang dilakukan memenuhi tiga ketentuan. Berlaku dalam tempat hukum itu hidup, tidak diatur dalam RKUHP, dan sesuai dengan nilai Pancasila, UUD 1945, sampai hak asasmi manusia.
"Kami memberikan penjelasan, jadi tidak mengubah norma," kata Edy.
2. Pidana Mati
Edy menyebut KUHP menempatkan pidana mati sebagai salah satu pidana pokok. Sedangkan, RKUHP pada Pasal 100 menempatkan pidana mati sebagai pidana paling terakhir dijatuhkan untuk mencegah dilakukannya tindak pidana.
Selain itu, hukuman mati selalu diancamkan secara alternatif dengan penjara waktu tertentu (paling lama 20 tahun dan pidana penjara seumur hidup). Selain itu, pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 tahun.