Bambang mengatakan, UU Sisdiknas mengamanatkan pemerintah pusat dan daerah agar menyelenggarakan pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Pusat menerjemahkannya melalui panduan komponen-komponen yang tertera dalam Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebagai definisi “gratis”.
Daerah, dimintanya membuat definisi “gratis” versi-nya masing-masing untuk menambal pembiayaan komponen pendidikan dasar lainnya, BOS provinsi/kabupaten /kota, yang disesuaikan dengan kemampuan anggarannya. “Perlu sekali penajaman pengertian gratis itu agar jelas dan untuk yang lebih teknis melalui peraturan kepala daerah agar lebih operasional,” katanya.
Sederet aturan diterbitkan soal kewajiban negara menanggung biaya pendidikan dasar itu. Dari UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas kementrian merilis PP Nomor 47/2008 tentang Wajib Belajar serta PP Nomor 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan. “Bahkan wajib belajar gratis itu diatur dalam UU APBN, tingal pengaturannya lebih lanjut oleh pemerintah daerah,” katanya.
Pada Pasal 34 UU Sisdiknas disebutkan, pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pendidiakn dasar tanpa memungut biaya. Soal ini yang perlu dipertajam dalam peraturan daerah. Dengan dicantumkan dalam perda, paparnya, pembiayaan pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah daerah menjadi lebih jelas. Dengan aturan yang jelas itu untuk memastikan mana pendanaan yang boleh diberikan dan mana yang tidak.
Bahkan, dengan terbitnya PP 47/2008 tentang Wajib Belajar, pemerintah daerah bisa mengatur soal sanksi bagi orang tua yang tidak menyekolahkan anaknya yang masuk usia wajib belajar 9 tahun. “Sebetunya pemda bisa menerbitkan perda yang memberikan sanksi bagi orang tua yang tidak menyekolahkan anaknya itu, sanksinya bisa di atur di situ, tapi perda tidak bisa ngatur sanksi pidana tapi sanksi administratif,” kata Bambang.
AHMAD FIKRI