TEMPO.CO, Jakarta - Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) dan Scholar at Risk (SAR) mengatakan pola represi yang menargetkan para akademisi dan mahasiswa mengancam kebebasan akademik dan perkembangan perguruan tinggi Indonesia di masa mendatang.
“Kami mengutuk serangan terhadap para sarjana dan mahasiswa dan menyerukan kepada masyarakat internasional untuk bergabung dengan kami bergandengan tangan dalam membela kebebasan akademik di Indonesia,” kata Ketua KIKA yang berasal dari dosen Universitas Brawijaya Dhia Al Uyun dalam keterangan persnya, Rabu, 18 Mei 2022.
Menurutnya, dalam pengajuan bersama ke Universal Periodic Review PBB untuk Indonesia, KIKA dan SAR menyoroti tekanan dan tindakan yang ditargetkan oleh aktor negara, serta universitas yang menghukum dan membungkam kebebasan berpendapat, penyelidikan, dan ekspresi akademis sejak Maret 2017.
Para akademisi, kata Dhia, mendapatkan serangan penuntutan hukum, baik secara pidana maupun perdata, termasuk di bawah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang kontroversial untuk ekspresi kritis terhadap pemerintah, menjadi saksi ahli dalam proses persidangan, dan berbicara tentang temuan hasil riset di ruang publik.
Dia mengatakan mahasiswa sering menghadapi penangkapan dan kekerasan polisi karena memprotes ketidakadilan dan mengutuk korupsi, serta tindakan pendisiplinan oleh universitas.
Akademisi juga tetap kecewa atas ancaman terhadap otonomi universitas yang dilancarkan oleh sistem pengangkatan rektor yang berpotensi korupsi.
Sejak Desember 2017, KIKA telah mengumpulkan para akademisi, mahasiswa, dan masyarakat sipil untuk membahas keadaan kebebasan akademik dan peluang untuk mendukung komunitas pendidikan tinggi, termasuk dengan mempromosikan Prinsip-Prinsip Surabaya tentang Kebebasan Akademik.
Menurut Academic Freedom Index (AFi), alat yang dikembangkan oleh Global Public Policy Institute (GPPi), Friedrich Alexander Universität Erlangen Nürnberg (FAU), V-Dem Institute, dan SAR, peringkat ahli untuk menghormati kebebasan akademik turun dari 0,75 pada 2000 menjadi 0,65 (dari 1,00) pada 2021.
Merosotnya kondisi jaminan kebebasan akademik seperti yang ditunjukkan oleh AFi dan insiden yang dilaporkan dalam pengajuan UPR bersama, menimbulkan keprihatinan serius atas masa depan pendidikan tinggi Indonesia.
“Para akademisi dan mahasiswa memainkan peran penting dalam masyarakat sipil Indonesia yang dinamis, terutama mempromosikan keadilan sosial dan hak asasi manusia untuk secara terbuka membahas korupsi pemerintah dan masalah lingkungan,” kata Senior Advocacy Officer di SAR, Daniel Munier.
Menurutnya, komunitas pendidikan tinggi Indonesia sangat penting untuk masa depan negara dan membutuhkan kebebasan akademik dan dukungan dari para pemimpin pemerintah. “Tanpa tanah subur, para sarjana dan mahasiswa Indonesia terhalang dalam kemampuan mereka untuk mendorong kemajuan ilmiah, sosial, ekonomi, dan budaya negara,” katanya.
MUTIA YUANTISYA