TEMPO.CO, Jakarta - Para penggugat Undang-undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara atau UU IKN mengungkapkan, pemerintah dan dewan perwakilan rakyat (DPR) tidak pernah melibatkan warga yang tinggal di wilayah IKN saat membahas rencana pemindahan IKN maupun pembentukan UU IKN.
Kuasa hukum penggugat UU IKN, Muhammad Arman, mengatakan, salah satu pemohon UU IKN yang menjadi kliennya, yaitu Yati Dahlia, warga suku Balik atau suku asli di kawasan IKN, menyatakan tidak pernah dilibatkan ataupun diajak berkomunikasi dengan pemerintah tentang rencana pemindahan hingga pembangunan IKN.
Padahal, dia melanjutkan, tempat tinggal Dahlia bersama 83 Kepala Keluarga (KK) lainnya hanya berjarak 6 kilometer dari titik Nol IKN. Mereka pun kata Arman mengaku khawatir akan diusir atau digusur dari tempat tinggal mereka.
"Mereka tidak pernah dilibatkan bahkan tidak pernah diajak berkomunikasi oleh pemerintah tentang pemindahan IKN. Padahal Dahlia beserta warga lainnya adalah pihak yang akan terdampak langsung," kata Arman saat sidang gugatan UU IKN di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin, 25 April 2022.
Seharusnya, para penggugat menganggap, pemerintah mengedepankan prinsip Free, Prior, Informed, Consent (FPIC) dalam proses pengambilan keputusan pemindahan IKN, Penyusunan UU, dan pengesahan UU IKN. Khususnya terhadap suku asli yang mendiami kawasan yang akan dijadikan IKN oleh pemerintah.
"Terutama Suku Balik tidak pernah diajak komunikasi oleh pemerintah tentang rencana pemindahan IKN hingga UU IKN disahkan warga tidak dilibatkan secara aktif, bahkan saat presiden kemah di titik nol wilayah IKN warga tidak diberitahu oleh pemerintah," ujar dia.
Oleh sebab itu, Dahlia sebagai pemohon III, kata Arman, menyatakan menolak jika harus direlokasi dari tempat tinggalnya karena harus memulai kehidupan baru dan berpisah dari tetangga dan keluarganya. Dahlia dan warga lainnya juga tidak ingin tercerabut dari sejarah dan identitas sebagai suku Balik.
"Saat ini saja, seluruh masyarakat tidak ada yang boleh mengurus surat tanah. Fakta ini menunjukan bahwa UU IKN tidak memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat yang tinggal di wilayah IKN," ucap Arman.
Selain Dahlia, Arman juga mewakili pemohon lainya, yaitu Muhammad Busyro Muqoddas Pemohon I, DR. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum Pemohon II dan Dwi Putri Cahyawati Pemohon IV yang menganggap memiliki pandangan dan perspektif luas dan strategis terkait dengan isu IKN.
"Namun tidak pernah dilibatkan dalam proses pembentukan UU IKN yang begitu cepat, tergesa-gesa, dan tertutup yang menyebabkan pemohon 1, 2, dan 4 terlanggar dengan demikian pemohon 1, 2, dan 4 memenuhi legal standing," ucap Arman.
Kemudian, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang menjadi Pemohon V yang diwakilinya kata Arman terdapat 21 komunitas adat anggota AMAN yang berada di lokasi IKN dan selama proses pemindahan dan pembentukan UU IKN, masyarakat adat tidak dapat berpartisipasi secara penuh dan efektif.
"Padahal partisipasi masyarakat adat dijamin sebagai hak-hak konstitusional berdasarkan Pasal 18B ayat (2) dan 28I ayat (3) UUD 1945. Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 juga memberikan kesempatan bagi warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan dan membangun masyarakat, bangsa, dan negara," kata dia.
Terakhir, Pemohon VI yang diwakilinya adalah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Dia mengatakan, adanya hubungan sebab akibat berlakunya UU IKN yang dapat membahayakan kelestarian lingkungan dan berdampak pada pemenuhan hak warga negara Indonesia atas lingkungan hidup yang baik dan berkualitas, sehingga menyebabkan hak konstitusional WALHI dirugikan.
Baca: MK Gelar Sidang Gugatan UU IKN, Ini Masalah yang Melatarbelakangi