TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum dari Universitas Bisnis, Ahmad Sofian, menyoroti fakta pertimbangan hukum oleh hakim dalam putusan kasus penyiraman air keras terhadap mantan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan. Ia menilai ada beberapa fakta di lapangan yang tidak dipertimbangkan oleh hakim dalam kejadian ini.
"Itu di-cut (dipotong) hanya sampai kepada perbuatan-perbuatan yang menurut terdakwa, jaksa, dan hakim, merupakan rangkaian peristiwa yang utuh," kata Ahmad dalam eksaminasi putusan pada Selasa, 19 April 2022.
Eksaminasi diluncurkan bersama YLBHI, KontraS, dan ICW. Ahmad yang juga penulis buku Ajaran Hukum Kausalitas Hukum Pidana ini melakukan eksaminasi atas putusan kasus Novel dengan ajaran kausalitas.
Penyiraman yang menimpa Novel terjadi pada 11 April 2017. Lalu putusan pengadilan dijatuhkan pada 16 Juli 2020, dengan divonisnya dua tersangka.
Keduanya yaitu Rahmad Kadir Mahulette dan Ronny Bugis. Novel sedari awal juga tak percaya dua orang tersebut yang melakukan penyiraman air keras terhadap dirinya.
1. Beda Surat Dakwaan dan Keterangan Novel
Pertama, Ahmad menyoroti perbedaan rangkaian kejadian dalam surat dakwaan jaksa dan keterangan Novel. Dalam dakwaan disebutkan kalau pelaku mencari alamat Novel di internet pada 8 April 2017.
"Tidak dijelaskan di dalam dakwaan, alamat web yang dijadikan laman untuk menentukan rumah. Saya juga tidak tahu apakah ada alamat Novel di web, kalau ada harusnya disebutkan," kata Ahmad.
Lalu di surat dakwaan, juga ditulis pelaku mengamati rumah Novel selama dua hari, 8-9 April 2017. Akan tetapi, pelaku justru meyiram Novel pada subuh, bukan malam hari.
"Segmen ini yang menimbulkan pertanyaan," kata Ahmad. Dari mana pelaku tahu kalau Novel keluar solat berjamaah ke masjid saat subuh, saat pelaku hanya mengamati di malam hari saja sesuai surat dakwaan.
Selain itu, surat dakwaan juga menyebut pelaku mencari cairan air aki berupa asam sulfat (H2SO4) pada 10 April 2017. Ahmad menyebut, dakwaan jaksa tidak menyebutkan air aki dari mobil siapakah yang digunakan, sekali telah disebut mobil di pool angkutan gegana Polri.
"Benarkan air aki mobil air berkurang atau tidak, mengapa idenya menggunakan air keras, ini tak disebutkan," kata Ahmad.
Rangkaian kejadian di surat dakwaan ini berbeda dengan rangkaian perbuatan menurut Novel. Salah satunya foto yang diambil tetangga berbeda dengan foto terdakwa. Lalu, Novel tdiak ada hubungan dengan penyerang dan tidak logis ada penyerangan.
2. Fakta Pertimbangan Hukum Hakim
Berikutnya, Ahmad membeberkan beberapa rangkaian kejadian yang jadi fakta pertimbangan hakim dalam putusan Novel. Di antaranya pelaku membenci Novel dan timbul niat untuk memberi pelajaran, pelaku mencari alamat Novel di Google Search, pelaku meminjam motor dan melakukan survei pada 8 dan 9 April 2017.
Lalu, pelaku datang pool angkutan mobil gegana Polri untuk mencari air aki yang disiram ke Novel pada 10 April 2017. Pelaku berangkat ke Kelapa Gading pukul 3 dini hari pada 11 April 2017. Hingga pelaku menyiram Novel sekitar pukul 5 pagi.
Menurut Ahmad, hakim menggunakan ajaran kausalitas generalisasi yang objektif alias mengandalkan pada ilmu pengetahuan semata. Padahal, rangkaian ini tak bisa diurut sesederhana ini dan harus harusnya menggunakan ajaran kausalitas von buri.
Dalam ajaran kausalitas von buri, semua harus diperhitungkan. Mulai dari posisi seorang Novel di KPK, perkara strategis yag sedang ditangani seperti kasus E-KTP, ancaman-ancaman yang sebelumnya diterima Novel. "Itu tidak dimunculkan," kata Ahmad.
Sehingga jika merujuk pada ajaran von buri, maka apa yang ada di dalam dakwaan serta putusan hakim tidak relevan dan tidak terpenuhi. "Kelihatan sekali bahwa rangkaian peristiwa itu dipaksakan," kata dia.
Logika yang dibangun pun, kata Ahmad, adalah logika yang dipaksakan dan kesimpulannya juga menjadi tersesat. Kebenaran materil yang ingin didapat dalam ajaran kausalitas tidak ditermukan dalam kasus Novel.
Hal yang ditemukan justru hanya rangkaian peristiwa yang dirangkai dalam melihat konteks kasus yang sebenarnya. "Pada perbuatan lain yang juga harus dipertimbangkan," kata dia.
kebenaran materil yang ingin didapatkan dalam ajaran kausalitas di sini jadi tidak ditemukan dalam kasus pak Novel, yang ditemukan adalah rangkaian peristiwa yang dirangkai tanpa melihat konteks kasus yang sebenarnya, pada perbuatan lain yang juga harus dipertimbangkan,"
Sehingga, Ahmad menarik tiga kesimpulan dari pilihan ajaran kausalitas hakim dalam memutus perkara Novel. Pertama, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara memilih ajaran kausalitas yang generalisasi objektif dalam merangkai perbuatan yang dilakukan pelaku.
Kedua, ajaran ini terlalu sederhana dalam merangkai perbuatan, dan hanya ditujukan untuk perbuatan yang tidak memiliki serabutnya. Ketiga, kasus yang menimpa Novel Baswedan memiliki serabut yang rumit, sehingga tidak bisa didekati dengan ajaran kausalitas generalisasi objektif.
Baca juga: Novel Baswedan Harap Eksaminasi Putusan Jadi Peringatan Bagi Manipulator Kasus