TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi undang-undang. Pengesahan ini dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022, Selasa, 12 April 2022.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Livia Istania DF Iskandar menilai undang-undang yang baru disahkan itu berisi tujuh muatan yang sangat progresif.
Pertama, soal restitusi. Pengaturan mengenai restitusi tetap mengedepankan tanggungjawab pelaku, mulai dari menuntut pembayaran oleh pelaku, pembebanan pihak ketiga, sita harta kekayaan pelaku, hingga hukuman tambahan jika pelaku tidak mampu membayar atau tidak adanya pihak ketiga.
“Dalam RUU, ada tanggung jawab negara apabila pelaku tidak mampu membayar restitusi. Sedangkan dalam hal terpidana merupakan korporasi, dilakukan penutupan sebagian tempat usaha dan atau kegiatan usaha korporasi paling lama 1 (satu) tahun,”ujar Livia lewat keterangan tertulis, Selasa, 12 April 2022.
Kedua, pengaturan tentang dana bantuan korban (Victim Trust Fund). Livia menuturkan, dana bantuan korban diberikan dalam hal harta kekayaan pidana yang disita tidak mencukupi untuk pembayaran restitusi, maka negara memberikan kompensasi sejumlah restitusi yang kurang bayar kepada korban dengan putusan pengadilan.
Dana bantuan korban itu dapat diperoleh dari lembaga filantrofi, masyarakat, individu, tanggung Jawab sosial perusahaan, dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat serta anggaran negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan mengenai sumber, peruntukan dan pemanfaatan dana bantuan korban akan diatur kemudian melalui peraturan pemerintah.
Ketiga, perlindungan korban. Menurut Livia, mekanisme perlindungan dilakukan dengan tahapan: perlindungan sementara oleh kepolisian, atau dapat langsung mengajukan permintaan perlindungan kepada LPSK paling lambat 1x24 jam; dan perlindungan sementara diberikan untuk waktu paling lama 14 hari.
Untuk keperluan perlindungan, dapat dilakukan pembatasan gerak pelaku dan kepolisian wajib mengajukan permintaan perlindungan kepada LPSK serta pemberian perlindungan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Pembatasan gerak pelaku juga telah diakomodir dalam RUU dimana berdasarkan permintaan korban, keluarga, penyidik, penuntut umum atau pendamping hakim dapat mengeluarkan penetapan pembatasan gerak pelaku dalam jarak dan waktu tertentu,” ujar Livia.
Keempat, soal pendampingan. Pengaturan mengenai pendamping bagi korban kekerasan seksual, kata Livia, telah diakomodir bahwa pendamping dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan yang salah satunya dilakukan oleh Petugas LPSK. “Pendamping juga harus memenuhi syarat, baik kompetensi, telah mengikuti pelatihan maupun berjenis kelamin sama dengan korban,” ujar dia.
Untuk pendamping bagi saksi dan/atau korban penyandang disabilitas, kata Livia, pendamping memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum selama mendampingi saksi dan korban, yaitu tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas pendampingan atau pelayanannya.
Kemudian, muatan kelima terkait pemeriksaan saksi dan/atau korban. Livia mengatakan, beberapa pengaturan mengenai pemeriksaan saksi dan/atau korban dalam UU tersebut, yaitu apabila saksi dan/atau korban tidak dapat hadir di persidangan dengan alasan kesehatan, keamanan, keselamatan, dan/atau alasan lain yang sah, maka dapat dilakukan dengan cara pembacaan berita acara pemeriksaan, pemeriksaan melalui perekaman elektronik dan/atau pemeriksaan langsung jarak jauh dengan alat komunikasi audiovisual.
Pemeriksaan saksi dan/atau korban melalui perekaman elektronik, lanjut dia, dapat dilakukan oleh penyidik, maupun oleh hakim dengan mempertimbangkan kondisi saksi dan/atau korban. “Pertimbangan kondisi saksi dan/atau korban, salah satunya dengan mempertimbangkan keputusan LPSK yang memberi perlindungan terhadap saksi dan/atau korban,” ujarnya.
Muatan keenam, lanjut Livia, tentang hak korban, keluarganya dan saksi. Ketentuan mengenai hak korban, keluarga korban dan saksi dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban tetap berlaku, kecuali ditentukan lain dalam UU TPKS. Hak korban yang diberikan yaitu hak atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan yang tata caranya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Terakhir, diatur penyelenggaraan pelayanan terpadu dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. LPSK menjadi salah satu kementerian/lembaga yang melaksanakan penyelenggaraan pelayanan terpadu di pemerintah pusat dan pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan terpadu di daerah dilakukan oleh UPTD PPA, yang salah satunya bekerja sama dengan Perwakilan LPSK di daerah.
Meski mendapat banyak apresiasi dari banyak pihak, RUU TPKS masih menyisakan catatan seperti, belum diaturnya secara gamblang perkosaan dan pemaksaan aborsi.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej berjanji pangaturan mengenai pemerkosaan hingga aborsi akan diakomodir dalam revisi KUHP. Kata Eddy, sebetulnya dalam pasal 4 ayat (2) RUU TPKS, sudah memasukkan pemerkosaan itu sebagai tindak pidana kekerasan seksual. Tetapi mengenai deliknya diatur dalam KUHP.
"Jadi kami juga menarik berbagai kejahatan seksual di luar UU ini untuk menggunakan hukum acara dalam UU ini. Mengapa harus demikian? Tidak lain dan tidak bukan untuk mempermudah pembuktian pemerkosaan dan aborsi yang sudah diatur dalam rancangan KUHP, yang akan disahkan selambat-lambatnya pada Juni 2022," ujar Eddy di Kompleks Parlemen, Senayan pada Selasa, 12 April 2022.
DEWI NURITA
Baca: Pemerkosaan dan Aborsi Tak Masuk RUU TPKS, Wamenkumham Janji Diatur dalam RKUHP