TEMPO.CO, Jakarta - Pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) oleh DPR pada hari ini mendapatkan apresiasi dari sejumlah kalangan. Kendati demikian, RUU TPKS masih menyisakan catatan seperti, belum diaturnya secara gamblang pemerkosaan dan pemaksaan aborsi.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej berjanji pengaturan mengenai pemerkosaan hingga aborsi akan diakomodir dalam revisi KUHP. Kata Eddy, sebetulnya dalam pasal 4 ayat (2) RUU TPKS, sudah memasukkan pemerkosaan itu sebagai tindak pidana kekerasan seksual. Tetapi mengenai deliknya diatur dalam KUHP.
"Jadi kami juga menarik berbagai kejahatan seksual di luar UU ini untuk menggunakan hukum acara dalam UU ini. Mengapa harus demikian? Tidak lain dan tidak bukan untuk mempermudah pembuktian pemerkosaan dan aborsi yang sudah diatur dalam rancangan KUHP, yang akan disahkan selambat-lambatnya pada Juni 2022," ujar Eddy di Kompleks Parlemen, Senayan pada Selasa, 12 April 2022.
Ketua Tim RKUHP dari pemerintah tersebut mengatakan terbuka akan berbagai masukan masyarakat sipil untuk menyempurnakan rumusan mengenai aborsi dan pemerkosaan itu. "Kami nantikan masukannya agar kejahatan seksual itu bisa ditanggulangi secara komprehensif," tuturnya.
Adapun tindak pidana kekerasan seksual yang diatur dalam RUU TPKS, yakni; tindak pidana pelecehan seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual dan kekerasan seksual berbasis elektronik.
Selain itu, RUU TPKS juga mengakui tindak pidana kekerasan seksual yang diatur dalam undang-undang lainnya. Pemerkosaan dan aborsi termasuk di dalamnya. Dengan demikian, hukum acara dan pemenuhan hak korban bisa mengacu pada RUU TPKS.
DEWI NURITA