INFO NASIONAL - Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, mengapresiasi langkah DPP Asosiasi Advokat Indonesia (DPP AAI) yang dipimpin Palmer Situmorang akan memasifkan para advokat untuk lebih banyak terlibat dalam aktifitas pro bono (cuma-cuma) dan juga legal aid (bantuan hukum).
Komitmen ini sesuai dengan Pasal 22 ayat 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, bahwa setiap advokat wajib memberikan bantuan hukum secara pro bono kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Ketentuan lebih lanjut diatatur dalam Peraturan Pemerintah No. 83 tahun 2008 tentang Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma.
Advokat juga harus lebih banyak terlibat dalam legal aid sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum, serta Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan.
“Melalui berbagai ketentuan hukum tersebut, negara berkewajiban menyiapkan advokat secara gratis untuk pencari keadilan, dengan biaya yang dibebankan kepada anggaran bantuan hukum, baik yang disediakan oleh Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)," ujar Bamsoet usai menerima pengurus DPP AAI di Jakarta, Kamis, 8 April 2022.
Pengurus DPP Asosiasi Advokat Indonesia yang hadir adalah Ketua Umum Palmer Situmorang, Wakil Ketua Umum Anton Desi Hernanto, Wakil Ketua Umum Darwin Aritonang, Ketua Hubungan Antar Lembaga Dhifla Wiyani, Wakil Sekretaris Jenderal Andrian Meizar, dan Bidang Humas Yosi.
Bamsoet menjelaskan pro bono dan legal aid merupakan dua hal yang berbeda. Pro bono timbul dari kesadaran diri advokat/kantor hukum untuk memberikan jasa hukum secara gratis kepada masyarakat pencari keadilan yang tidak mampu. Sementara legal aid, masyarakat pencari keadilan tidak perlu membayar jasa advokat/kantor hukum karena sudah ditanggung oleh negara.
Menurut Wakil Ketua Umum Partai Golkar tersebut, kendati UU 18/2003 telah berlaku lebih dari 19 tahun namun penerapan pro bono belum terlaksana dengan baik. Demikian pula legal aid yang undang-undangnya sudah lahir sejak tahun 2011.
“Hal ini bukan semata karena kealpaan para advokatnya, melainkan memang karena tidak adanya aturan hukum yang tegas dan jelas yang bisa memandu para advokat dan pencari keadilan yang tidak mampu untuk mengakses pro bono dan legal aid," tutur Bamsoet.
Untuk memasifkan pro bono dan legal aid dalam aktifitas setiap advokat, Kementerian Hukum dan HAM perlu duduk bersama dengan asosiasi/perhimpunan advokat, sehingga bisa menemukan titik temu cara mengimplementasikan dua hal tersebut.
"Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) melaporkan total organisasi yang layak sebagai pemberi bantuan hukum dan dapat mengakses anggaran bantuan hukum yang disiapkan APBN/APBD pada periode tahun 2019 - 2021 tercatat sebanyak 524 organisasi. Jumlah tersebut masih sangat minim dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 270 juta jiwa, dengan penduduk miskin mencapai 26 juta jiwa yang masih sulit mengakses jasa advokat," kata Bamsoet. (*)