TEMPO.CO, Jakarta - Kiai Haji Ahmad Hasyim Muzadi merupakan tokoh Islam Indonesia sekaligus mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) masa khidmat 1999-2010. Lahir 8 Agustus 1943, Muzadi meninggal pada 16 Maret 2017, di usia 73 tahun.
Jenazah Hasyim Muzadi dimakamkan di kompleks Pondok Pesantren Al Hikam Beji, Depok, Jawa Barat. Pemakaman ini merupakan wasiat Muzadi kepada keluarga.
Sebelum meninggal, Muzadi menyampaikan keinginannya dimakamkan di dekat Pondok Pesantren Al Hikam, bahkan ia menunjuk sendiri lahan yang akan menjadi liang kuburnya. Ini karena Muzadi ingin dekat dengan para santri, dan terus mendengar santri-santrinya membaca Al Quran.
Sosok Hasyim Muzadi
Mengutip NU Online di situs resmi nu.or.id, ketika Gus Dur menjadi presiden di tahun 1999, Muzadi terpiiih menjadi Ketua Umum PBNU di Muktamar NU ke-30 di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri.
Pada periode kepemimpinannya ini, NU membuat media online bernama NU online; menerbitkan Risalah Nahdlatul Ulama; menyelenggarakan konferensi ulama dan cendekiawan muslim tingkat dunia atau International Conference of Islamic Scholars (lCIS); dan membentuk beberapa PCINU (Pengurus Cabang Istimewa NU) di luar negeri.
Di ICIS Muzadi mengemban amanah sebagai sekretaris jendral yang memimpin perwakilan cendekiawan muslim dari puluhan negara dalam menanggapi berbagai persoalan muslim di seluruh dunia.
Di akhir jabatannya sebagai Katum PBNU, Muzadi mencalonkan diri sebagai wakil presiden mendampingi Megawati. Langkah ini memicu gelombang protes dari warga NU, karena ia dianggap berpolitik praktis, tetapi tidak mau mengundurkan diri dari jabatannya di PBNU.
Gerakan protes warga NU ini kemudian klimaks dalam Mubes Warga NU di Cirebon tahun 2004, menjelang Muktamar NU di Boyolali. Syuriyah PBNU kemudian mengeluarkan qarar (putusan) yang menonaktifkan Muzadi.
Meski mendapat kritikan tajam, di Muktamar NU ke-31 yang diadakan di Boyolali, Muzadi terpilih kembali menjadi Ketua Umum PBNU periode 2004-2009, dengan mengucapkan sumpah kontrak jam‘iyah di hadapan Rais ‘Aam terpilih, KH MA Sahal Mahfudh. Pada periode ini, meski bertahan dari berbagai kritikan karena terlibat dalam beberapa kali dukungan Pilkada, yang berarti mengingkari kontrak jam‘iyah, dia bisa bertahan sampai Muktamar NU ke-32 tahun 2010 di Makassar.
Pada Muktamar ke-32 di Makassar, Muzadi mencalonkan diri sebagai Rais ‘Aam Syuriyah PBNU, dan membuat tradisi persaingan yang belum pernah ada dalam sejarah jami‘yah. Jabatan ini jarang sekali ada yang mau, kecuali diminta dan diberikan kepada kiai yang berwibawa, zuhud, faqih, dan aliman terhadap persoalan umat. Akan tetapi upayanya gagal, karena muktamirin memilih KH MA Sahal Mahfudh.
Ketika lepas posisi sebagai ketua umum PBNU pada 2010, Muzadi masuk dalam jajaran Mustasyar PBNU pada periode kepemimpinan Ketum PBNU KH Said Aqil Siroj (2010-2015). Saat inilah Muzadi lebih banyak mencurahkan perhatiannya pada penyelesaian konflik di Timur Tengah. Melalui forum ICIS ia sering menggelar konferensi yang melibatkan para ulama terkemuka di Timur Tengah dalam mencari solusi perdamaian di Timur Tengah yang tak henti-henti berkecamuk.
Ketika pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla terpilih sebagai presiden dan wakil presiden untuk periode 2015-2019, Muzadi dipercaya menjadi salah satu anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) bersama sembilan orang lainnya.
Belum tuntas tugas sebagai Wantimpres, KH Hasyim Muzadi mengembuskan napas terakhir di Malang, Jawa Timur, pukul 06.00 , Kamis, 16 Maret 2017, pada usia 73 tahun. Pemerintah lalu menyerahkan anugerah tanda kehormatan jenis bintang untuk almarhum KH Hasyim Muzadi di Istana Negara pada Selasa, 15 Agustus 2017.
DELFI ANA HARAHAP
Baca: Jenazah KH Hasyim Muzadi akan Dimakamkan di Pesantren Alhikam
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.