INFO NASIONAL - Wakil Ketua MPR RI, Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid, MA, (HNW), menyesalkan penceramah agama, Saifuddin Ibrahim, yang meminta agar 300 ayat Al Quran dihapus atau direvisi karena dia pahami sebagai mengajarkan kekerasan dan terorisme. Saifuddin diketahui keluar dari agama Islam dan beralih profesi menjadi pendeta.
Menurut HNW, sudah sewajarnya Saifuddin mendapat hukuman yang tegas karena ceramahnya dinilai radikan dan tidak moderat. Menyebarkan permusuhan, intoleran, dan membelah harmoni antara umat beragama. “Akan potensial menimbulkan kegaduhan dan kemarahan umat Islam. Oleh karenanya, sepantasnya bila penegak hukum segera bertindak cepat menangani radikalisme dan delik penistaan agama Islam yang dilakukan oleh penceramah ini,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Selasa, 15 Maret 2022.
Pernyataan Saifuddin yang menyatakan bahwa 300 ayat Al Quran mengajarkan kekerasan atau terorisme, dan juga fitnahnya terhadap Pesantren sebagai sumber terorisme, jelas-jelas tidak benar. Pernyataan itu adalah fitnah, tendensius dan meresahkan umat Islam. Ajaran-ajaran Islam, kata Hidayat memang ada yang bersikat lembut dan juga tegas, terutama terhadap kebatilan.
“Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, ayat-ayat Al Quran yang tegas tersebut dijadikan sebagai dasar bagi ulama dan umat untuk bergerak melawan penjajah Belanda. Itulah yang dilakukan Pesantren dengan para Kiyai, Ulama dan Penceramahnya. Dengan ayat-ayat Al Quran mereka membela Bangsa dan Negara melawan para penjajah maupun kelompok komunis yang dua kali melakukan kudeta. Karena selain kasih sayang, rahmatan lil alamin, Al Quran juga ajarkan sikap tegas melawan kezaliman seperti penjajahan, kejahatan, pelanggaran hukum dan otoritarianisme,” tutur Anggota DPR RI Komisi VIII ini.
Hukuman yang tegas menurut HNW perlu diberikan kepada Saifuddin yang ternyata juga merupakan residivis penista agama. Pada 2018, Saifuddin telah divonis 4 tahun penjara karena kasus penistaan Agama Islam. “Lalu, setelah keluar penjara, Saifuddin tidak bertaubat, ia mengulangi lagi kejahatan yang dilakukan, malah lebih parah. Jadi, sangat layak dalam rangka keadilan hukum dan pemberantasan radikalisme apabila aparat penegak hukum menjatuhkan hukuman yang lebih berat kepada pihak yang mengulangi kejahatannya, seperti Saifuddin itu,” kata HNW.
Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini juga meminta agar masyarakat, terutama umat Islam di Indonesia, tidak terprovokasi menghadapi hal tersebut. Tetapi pihak penegak hukum harus menegakkan hukum yang tegas dan keras, supaya tidak menjadi tren yang bisa menyuburkan radikalisme dan merusak harmoni antara umat beragama.
HNW juga mengingatkan Kemenag dan BNPT untuk berkolaborasi mengatasi masalah penceramah agama ini. Karena Saifuddin sesudah meninggalkan agama Islam lalu mengaku jadi pendeta. “Apabila Kemenag membuat program sertifikasi ulama dan penceramah Agama, hendaknya juga secara adil diberlakukan untuk seluruh agama yang diakui di Indonesia. Demikian juga ketika Menag mencanangkan tahun 2022 sebagai tahun moderasi beragama, maka yang dilakukan oleh penceramah Saifuddin itu jelas tidak masuk kategori moderasi, justru bisa masuk kategori radikalisme dan intoleran. Juga kepada BNPT, agar kriteria penceramah radikal yang disebutkan oleh BNPT, penting untuk segera direvisi. Karena 5 kriteria yang membikin gaduh dan ditolak oleh MUI serta Muhammadiyah, dinilai tidak adil dan hanya menyasar penceramah muslim. Padahal banyak kasus, termasuk kasus Saifuddin ini menjadi contoh nyata bahwa penceramah dari agama apapun juga bisa berlaku radikal, menyebarkan permusuhan, intoleran, dan membuat disharmoni. Bila memang ingin mengamalkan Pancasila dan membasmi radikalisme dan terorisme, maka hal terakhir ini harusnya menjadi perhatian serius oleh BNPT juga,” kata HNW. (*)