TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti langkah pemerintah dalam pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan Timur. Salah satunya potensi munculnya pelanggaran HAM baik dalam proses atau saat sudah dilakukan pemindahannya.
“Kami telah mengidentifikasi beberapa potensi pelanggaran HAM yang telah atau akan terjadi dari peristiwa pemindahan ini,” kata peneliti KontraS, Rozy Brilian dalam konferensi pers daring, Jumat, 4 Maret 2022.
Kajian soal potensi pelanggaran HAM tersebut dituangkan dalam laporan Catatan Kritis Pelanggaran HAM di Balik Pemindahan Ibu Kota Baru, Jumat, 4 Maret 2022. Berikut hasil identifikasinya.
1. Mengabaikan hak atas partisipasi
Proses pembahasan yang dilakukan DPR dalam merumuskan dan membahas RUU IKN terhitung hanya dalam jangka waktu 43 hari. Mulai dari Pansus terbentuk hingga disetujui bersama dalam Rapat Paripurna. Proses legislasinya juga minim melibatkan publik.
KontraS menyebut bahwa hal itu bertentangan dengan sejumlah ketentuan Undang-Undang, sebagaimana diatur dalam Pasal 96 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3). “Di dalam aturan itu dijelaskan, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” tulis KontraS dalam laporan tersebut.
UU itu juga mengatur bahwa dalam membentuk peraturan perundang-undangan, harus dilakukan salah satunya berdasarkan pada asas keterbukaan. Makna persis yang dituliskan UU tersebut soal keterbukaan yakni bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka.
Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang Undangan. “Sayangnya prinsip pokok dalam penyusunan UU tersebut tak tergambar dalam proses penyusunan RUU IKN lalu.”
Publik tidak diajak bicara secara luas untuk membahas posibilitas terburuk dari pindahnya Ibu Kota Negara. DPR dan pemerintah terlihat sibuk sendiri tanpa membangun diskursus secara masif di tengah masyarakat.
2. Minim akses informasi
Selain ruang partisipasi yang minim, pembangunan mega proyek IKN juga tidak didukung akses informasi utuh dan transparan. Padahal informasi tersebut sifatnya esensial untuk mendukung masyarakat mengetahui perencanaan dari pembangunan IKN ke depan.
Menurut KontraS, hak atas informasi merupakan hak fundamental yang dijamin dalam konstitusi. “Oleh karena itu, negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin terpenuhinya akses informasi, terlebih terhadap urusan publik yang menyangkut kepentingan orang banyak,” dalam laporan KontraS.
KontraS menyebutkan bahwa informasi rinci soal data luasan dan konsep IKN yang akan dibangun tidak pernah dibuka secara transparan dan akuntabel. Pemerintah disebut cenderung melempar isu atau keputusan perpindahan ibu kota ke publik, dan kemudian ramai dengan diskusi, asumsi dan kegaduhan, serta menciptakan kebingungan di tengah-tengah masyarakat.
Kendala lainnya bagi publik ketika ingin mengkritik pun tidak memiliki data yang matang, sebab memang data tersebut tak pernah diberikan secara terbuka.
3. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat terenggut
Rencana pemindahan IKN tak lepas dari tantangan dalam aspek lingkungan terutama memastikan pembangunan IKN tidak merusak dengan tetap mempertahankan fungsi hutan, serta keanekaragaman hayati. Karena hal itu dijamin oleh Pasal 9 Ayat (3) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM maupun Pasal 5 Ayat (1) UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pemerintah lewat Kepala Bappenas mengklaim bahwa IKN baru akan dibiarkan 80 persen menjadi hutan. Namun, tetap mengancam keberadaan flora dan fauna di Kalimantan Timur sebagai bagian dari penjaga ekosistem.
“Beberapa kawasan di IKN baru diketahui menjadi habitat satwa liar seperti bekantan, beruang madu, macan dahan, buaya, dugong, dan pesut,” tulis KontraS.
Wilayah IKN baru juga menjadi ruang jelajah dan pelepasliaran orangutan hasil rehabilitasi. Selain itu, kawasan Teluk Balikpapan merupakan kawasan yang memiliki nilai konservasi tinggi dengan keragaman flora dan fauna liar yang ada di dalamnya.
Selain itu urbanisasi dan pembangunannya berpotensi memindahkan masalah lingkungan yang terjadi di Jakarta ke Kalimantan, seperti terganggunya kualitas udara dan terbatasnya sumber air. Belum lagi permasalahan bahan baku infrastruktur yang sampai saat ini belum ramai dibicarakan.
Pasokan material infrastruktur seperti pasir, kerikil, semen tentu diperlukan dengan jumlah yang sangat besar. Hal ini akan berimbas pada dikeruknya sumber daya alam di daerah lain untuk menunjang permintaan bahan baku pembangunan IKN seperti jalan dan gedung.
“Kami mengkhawatirkan eksploitasi bahan mentah tersebut akan menciptakan kerusakan baru di daerah lain. Selain itu, pengerukan massal juga tidak akan memikirkan dampak kerusakan lingkungan hidup,” katanya.
4. Hak atas rasa aman berpotensi terenggut
Satu hal yang tak mungkin luput dari adanya pembangunan skala besar adalah masalah pengamanan. Selama ini pemerintah cenderung menggunakan pendekatan keamanan ke beberapa proyek seperti Proyek Strategis Nasional (PSN), Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan Objek Vital Nasional (Obvitnas).
“Cara pengamanan yang sama tentu juga akan dilakukan untuk mengawal pembangunan IKN yang statusnya merupakan Kawasan Strategis Nasional (KSN) berdasarkan Pasal 1 Angka 12 UU IKN,” tutur KontraS.
Selama ini, penurunan aparat selalu dikedepankan dalam rangka menghadapi ancaman yang dianggap berbahaya bagi lokasi-lokasi strategis tersebut. Melihat pola-pola yang telah ada, KontraS mengkhawatirkan bahwa pendekatan keamanan seperti yang terjadi sebelumnya digunakan untuk mengamankan pembangunan IKN.
Pengamanan proyek model itu terbukti cukup meresahkan dan menakuti masyarakat.
MOH KHORY ALFARIZI
Baca: KontraS Khawatir Proyek IKN akan Memicu Masalah Pelanggaran HAM