TEMPO.CO, Jakarta - Berita yang banyak menyita perhatian pembaca hingga pagi ini yaitu Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Anwar Abbas menanggapi langkah Din Syamsuddin, yang baru-baru ini mendirikan Partai Pelita. Kemudian, Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan meminta penjelasan lengkap soal penceramah radikal yang disinggung Presiden Joko Widodo atau Jokowi dua hari lalu dalam pidatonya pada Rapat Pimpinan TNI-Polri. Berikut ringkasannya
1. Din Syamsuddin Dirikan Partai Pelita, Ini Komentar Muhammadiyah
Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Anwar Abbas menanggapi langkah Din Syamsuddin, yang baru-baru ini mendirikan Partai Pelita.
Anwar mengaku kaget karena selama ini Din yang merupakan eks Ketua Umum PP Muhammadiyah, tidak pernah mengungkap keinginannya mendirikan partai. Menurutnya, Din memiliki prinsip bahwa partai-partai yang ada saat ini sudah cukup dan hanya perlu diperkuat.
"Tetapi mengapa Pak Din sampai mendirikan partai? Hal itu benar-benar menjadi pertanyaan," kata dia melalui keterangan tertulis, Kamis, 3 Maret 2022.
Anwar menduga, langkah Din untuk mendirikan partai ini karena kekecewaan akutnya kepada partai-partai yang ada saat ini. Din, kata dia, sudah tidak lagi bisa menggantungkan harapannya pada partai politik yang ada.
"Hal ini dapat dipahami karena beliau adalah seorang yang idealis, religius, dan akademisi, di mana mungkin beliau melihat partai-partai yang ada saat ini sudah jauh menyimpang dari yang seharusnya," tuturnya.
Partai politik yang ada saat ini, katanya, terlihat jelas sudah sangat pragmatis. Sebab, tidak lagi berjuang membela rakyat tapi lebih banyak membela kepentingan oligarki, baik oligarki politik maupun oligarki ekonomi.
"Dan itu tentu saja menurutnya jelas tidak baik dan tidak sehat bagi perjalanan sebuah demokrasi yang memiliki prinsip dari rakyat bersama rakyat dan untuk rakyat," ungkap Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia ini.
Sebagai informasi, Ketua Majelis Permusyawaratan Partai (MPP) Partai Pelita Din Syamsuddin telah melantik kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Pelita di Jakarta, Senin 28 Februari 2022.
Partai Pelita merupakan partai politik yang telah mengantongi Surat Keputusan (SK) Pengesahan Badan Hukum dari Kementerian Hukum dan HAM.
Jabatan ketua umum partai dipegang oleh Beni Pramula. Dia lahir di Pramubulih, 12 September 1988. Sebagai aktivis, sejumlah jabatan pernah diemban Beni, di antaranya ketua umum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah periode 2014-2016 dan Presiden Pemuda Asia-Afrika periode 2015-2020.
Sementara jabatan sekretaris jenderal Partai Pelita dipegang oleh Tantan Taufiq Lubis. Dia merupakan ketua Forum Pemuda Kerjasama Islam atau Islamic Cooperation Youth Forum (ICYF) sekaligus Pendiri Pemuda OKI Indonesia. Saat ini Tantan menjabat Vice Presiden Pemuda Islam untuk tingkat dunia.
2. Presiden Jokowi Singgung Soal Penceramah Radikal, MUI Minta Penjelasan
Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan mempertanyakan penceramah radikal yang disinggung Presiden Joko Widodo atau Jokowi dua hari lalu dalam pidatonya pada Rapat Pimpinan TNI-Polri. Amirsyah berharap ada penjelasan lebih lengkap agar isu ini tidak simpang siur.
"Seperti apa radikal yang dimaksud presiden, sehingga jelas subjeknya pada penceramah yang radikal terhadap keluarga TNI Polri," kata dia saat dihubungi, Kamis, 3 Maret 2022.
Dalam Rapat Pimpinan TNI-Polri di Mabes TNI, Jakarta, Selasa, 1 Maret, Jokowi mengingatkan agar istri dan keluarga anggota TNI-Polri tidak sembarangan memanggil penceramah. Jokowi mengkhawatirkan hal itu bisa menjadi bibit radikalisme di kalangan aparat negara.
"Ini mikronya harus kita urus juga. Tau-tau mengundang penceramah radikal. Nah, hati- hati. Hal-hal kecil ini harus diatur. Saya melihat di WA grup, karena di kalangan sendiri, oh boleh, hati-hati, kalau seperti itu dibolehkan dan diterus-teruskan, hati-hati," kata dia.
Menurut Amisyah, radikalisme adalah istilah yang digunakan pada akhir abad ke-18 untuk pendukung gerakan radikal. Dalam sejarah, kata dia, gerakan yang dimulai di Britania Raya ini meminta reformasi sistem pemilihan secara radikal.
Gerakan ini, kata dia, awalnya menyatakan dirinya sebagai partai kiri yang menentang partai kanan.
"Dalam konteks Indonesia harus dijelaskan apakah radikal kanan atau kiri?" ujarnya.
Untuk itu, Amirsyah juga berharap ada klarifikasi dari pimpinan TNI Polri yang lebih paham terkait masalah penceramah radikal yang dimaksud ini.
"Sehingga tidak simpang siur, karena jangan sampai jadi beban presiden, karena tugas beliau sangat berat dalam pemulihan ekonom nasional di masa pandemi," kata dia.
Di sisi lain, Amirsyah tetap berharap pimpinan TNI Polri dapat melakukan pencegahan terhadap paham radikal yang mengarah pada tindakan ekstrim dan terorisme. Sebab kalau tidak dicegah sejak dini, kata dia, akan mengganggu stabilitas nasional menuju Pemilu 2024.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo menyebut arahan dari Jokowi ini jadi pedoman dalam mitigasi penyebaran paham radikalisme. "Karena ini untuk kebaikan bersama," kata dia pada Rabu, dikutip dari Antara.
Dedi menjamin Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri akan ikut mendisiplinkan anggota kepolisian. Dia menyatakan Propam akan melakukan tindakan tegas jika memang ada anggotanya yang terlibat dalam praktik tersebut.
Baca: Wacana Penundaan Pemilu 2024, Surya Paloh: Sebelum Sampai ke MPR, Game is Over