TEMPO.CO, Jakarta - Epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman, menjelaskan hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan uji coba tanpa karantina Covid-19 bagi pelaku perjalanan luar negeri oleh pemerintah di Bali. Menurutnya, indikator untuk menentukan itu bisa dilihat langsung di lapangan, apakah pandemi sudah membaik atau masih buruk.
“Karena karantina ketika diberlakukan bahkan durasi waktunya itu sangat berkorelasi dengan keseriusan situasinya. Ini bicara tentang di balik penerapan waktu karantina ya, ada aspek yang harus dilihat, khususnya indikator epidemiologinya,” ujar dia saat dihubungi Selasa, 1 Februari 2022.
Sehingga, Dicky melanjutkan, penetapan masa karantina ini harus sangat dipertimbangkan dengan matang, termasuk juga uji coba tanpa karantina. Karena penting, setiap penyakit menular yang mewabah harus menerapkan aspek karantina sebagai salah satu strategi mencegah penularan lebih lanjut atau mencegah potensi masuknya dan atau bekembangnya satu varian dari luar negeri.
Oleh karena itu, kata dia, apapun keputusan terkait karantina menjadi harus betul-betul dipertimbangkan matang tentunya berbasis indikator epidemiologinya. Termasuk juga dari segi aspek lainnya misalnya kesiapan infrastruktur.
Di Bali misalnya, ada penghapusan karantina dari sisi indikatornya siap atau tidak. Karena ketika dibuka, di dalam Bali itu harus sudah siap, bukan hanya kondisi secara umum aman, tapi siap dengan potensi keamanan yaitu landskap imunitas yang harusnya dijadikan dasar.
“Indikator lainnya harus dua dosis vaksin untuk populasi umum, minimal harus 70 persen, itu cakupannya berbasis WHO. Kemudian yang dosis ketiga atau booster pada kelompok lansia atau komorbid harus minimal 50 persen,” kata dia.
Selain itu yang perlu dilihat juga adalah angka hunian ICU di rumah sakit, termasuk bagaimana positivity rate-nya. Karena, Dicky berujar, jika karantinanya dihapuskan itu positivity rate-nya bukan lagi di angka 5 persen, tapi setidaknya harus di bawah 3 persen atau lebih bagus di bawah 1 persen. “Itu dari sisi epidemiologi.”
Sementara dari sisi kesiapan, menghapuskan karantina itu bukan berarti tidak ada screening. “Bukan berarti orang boleh bolak-balik tidak ada screening sama sekali, wong pandemi ini belum berakhir. Jadi screening dicek sudah vaksin apa belum, punya gejala tidak, punya kontak dengan yang positif atau tidak, ada tidak sistemnya,” tutur Dicky.
Selain itu pada saat kedatangan pelaku perjalanan luar negeri juga harus dites setidaknya rapid test antigen, agar tahu kondisinya. Dicky juga mempertanyakan ada tidak sistem yang bisa memantau keberadaan orang tersebut dan posisinya dimana. “PeduliLindungi bisa tidak.”
“Nah ini yang harus disiapkan, karena kita harus melakukan pemulihan tapi yang terukur dan tidak menyebabkan situasi lebih buruk,” ujar dia ihwal indikator uji coba tanpa karantina.
Sementara, dihubungi terpisah, Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Tjandra Yoga Aditama, menjelaskan beberapa hal yang senada dengan Dicky. “Tentu ketika sampai Indonesia harus periksa PCR dan harus negatif, dan juga sudah divaksin lengkap dan booster,” kata Tjandra.
Jika ada daftar pertanyaan yang harus diisi pelaku perjalanan luar negeri sebelum masuk Indonesia, maka Tjandra meminta perlu ditanyakan apakah dalam 7 hari terakhir ada kontak dengan pasien Covid-19 positif. Misalnya seperti ada atau tidak anggota keluarga atau kerabat yang Covid-19 positif.
Tjandra yang saat ini menjabat sebagai Direktur Pascasarjana Universitas YARSI Jakarta itu menyarankan agar tetap dilakukan pengawasan kesehatan sampai seminggu pelaku perjalanan ada di Indonesia. “Informasinya juga harus diberikan ke Puskesmas tempat pelaku perjalanan itu tinggal atau hotelnya,” ujar Tjandra.
Selain itu, perlu ada komunikasi antara International Health Regulation (IHR) focal point Indonesia dengan IHR focal point negara asal. Termasuk juga negara tujuan lanjutan pelaku perjalanan luar negeri, khususnya kalau belakangan diketahui ada yang positif Covid-19.
“Dan dapat juga diatur tentang kalau ada negara-negara yang sedang tinggi sekali kenaikan kasusnya, maka aturan mungkin ditinjau ulang, setidaknya baik tetap di karantina,” katanya lagi.
Baca: Kemenkes Sebut Ada 14 Provinsi Alami Penurunan Kasus Covid-19