TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Willy Aditya menyatakan rapat tingkat badan musyawarah (Bamus) menyetujui dua rancangan undang-undang dibahas di masa reses. Dua RUU itu adalah RUU TPKS atau Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP).
"Ada dua RUU yang kami minta dibahas di masa reses, revisi UU PPP dan RUU TPKS. Dan waktu itu sudah disetujui di rapat Bamus," ujar Willy di Kantor DPP Partai Nasdem, Jakarta, Selasa, 22 Februari 2022.
Willy mengatakan Baleg sudah berkoordinasi dengan pimpinan DPR untuk membahas kedua RUU tersebut selama masa reses. Jika persetujuan sudah dikeluarkan oleh pimpinan DPR, maka rapat kerja bersama pemerintah akan digelar.
Adapun pembahasan RUU TPKS dikebut agar perlindungan terhadap korban tindak kekerasan seksual bisa segera direalisasikan. Sementara RUU PPP dikebut untuk memberikan payung hukum terhadap UU Cipta Kerja.
"PPP kan syarat formil untuk pembahasan Cipta Kerja. Presiden (Jokowi) minta perbaikan UU Cipta Kerja kalau bisa selesai sebelum G20, maka revisi PPP ini harus selesai dulu. UU Cipta Kerja enggak akan bisa mulai kalau PPP belum selesai," ujar Willy.
Presiden Partai Buruh Said Iqbal menilai RUU PPP ini hanya dijadikan DPR sebagai alat untuk menyiasati UU Cipta Kerja yang sudah ditetapkan Mahkamah Konstitusi inkonstitusional bersyarat. "Revisi UU PPP dikebut demi menyiasati hukum," kata dia saat konferensi pers secara daring, Rabu, 9 Februari 2022.
Said mengaku heran para anggota dewan tidak kapok-kapoknya mengakali dan membohongi rakyat dengan merevisi UU PPP. Padahal, kata Said, mereka hanya ingin mempermudah pembahasan UU Cipta Kerja yang telah disebut Mahkamah Konstitusi cacat formil selain juga inkonstitusional bersyarat.
Baca: RUU TPKS Atur Penegak Hukum Wajib Terima Laporan Kekerasan Seksual
DEWI NURITA