INFO NASIONAL – Sebuah produksi kebijakan dari Pemerintah, atau regulasi, wajib bersifat inklusif sehingga dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh lapisan masyarakat. Artinya, sebuah kebijakan patut mengarusutamakan perspektif kesetaraan gender, disabilitas dan inklusi sosial (GEDSI).
Berbagai lembaga riset independen di Indonesia banyak yang berkutat pada isu ini. Hasil temuan mereka kerap menjadi penyokong agar pemerintah dapat menghasilkan kebijakan yang infklusif. “Lembaga riset independen adalah aktor penting, selain perguruan tinggi, yang akan memproduksi pengetahuan,” kata Sekretaris Lembaga SMERU Research Institute, Heni Kurniasih, dalam KSIxChange#40: Potensi Kerja Sama Antar Lembaga Riset dengan Pengambil Kebijakan untuk Mendorong Proses Penyusunan Kebijakan Berbasis Bukti dan Inklusif, Kamis, 20 Januari 2020.
Sebuah kebijakan inklusif, kata Heni melanjutkan, setidaknya mengandung empat faktor. Pertama, dapat meningkatkan kapasitas, menghapus diskriminasi, dan menggerakan indivudi. Dua, meredistribusi sumber daya untuk menyetarakan ketimpangan kelompok. Tiga, mendorong partisipasi sosial aktif, dan terakhir yakni mengakui kelompok yang sebelumnya dikucilkan, tidak terlihat, atau direndahkan.
Peran SMERU adalah melakukan riset hingga dapat menghasilkan produk pengetahuan, lalu mengadvokasi kepada lembaga pemerintahan agar dapat mendorong pada hasil kebijakan inklusif. SMERU kerap memproduksi pengetahuan berbasis GEDSI dengan memperhatikan isu hangat di masyarakat. Misalnya tentag dampak pandemi Covid-19 terhadap pelayanan gizi ibu dan anak di berbagai wilayah Indonesia, terutama daerah 3T (tertinggal, terluar, terdepan).
Hasil pengetahuan ini akan melahirkan rekomendasi kebijakan. Pada proses advokasi, SMERU melakukannya melalui forum pembangunan daerah (formal) maupun pendekatan kepada aktor-aktor dalam produsen kebijakan (informal). Sementara pada lapisan masyarakat terdampak, SMERU akan melakukan pelatihan dan konsultasi, serta mempublikasikan hasil riset dalam bentuk jurnal, media sosial, dan webinar.
Proses serupa juga dilakukan Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina. Peneliti dari lembaga riset tersebut, Husni Mubarok menceritakan pengalamannya mengadvokasi sebuah kebijakan berbasis bukti. Menurut dia, kebijakan inklusif belum terimplementasi dengan tepat, kendati telah diatur dalam undang-undang.
“Konstitusi sudah sangat jelas, bahwa negara menjamin dan melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan. Peraturan turunan juga ada, misalnya terkait pendirian rumah ibadat diatur oleh Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) 2006,” ujar Husni.
Ia memandang regulasi sudah sangat bagus, namun implementasinya di daerah masih banyak yang mempersulit. Contohnya perusakan Masjid Ahmadiyah di Sintang, Kalimantan Barat, serta pembakaran Gereja Suka Makmur di Aceh Singkil yang hingga kini belum mendapatkan solusi terbaik.
PUSAD Paramdina, sebut Husni, telah menjalin kolaborasi dengan Kementerian Agama untuk memproduksi pengetahuan berbasis bukti. Kerja sama itu juga melibatkan Forum Kebebasan Umat Beragama (FKUB) untuk mengumpulkan data-data dari seluruh daerah dan hingga 2021 telah terkumpul 60 persen data.
Hasil riset data ini diharapkan dapat menjadi basis pengetahuan untuk lahirnya kebijakan yang lebih kuat. Saat ini, Kemenag memang tengah mendorong munculnya Peraturan Presiden tentang Peraturan Rumah Ibadah. “Kami juga sudah mengusulkan sejumlah pasal pada perpres tersebut,” kata Husni.
Ahmad Najib Burhani, Plt. Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan bahwa Pemerintah telah berusaha membuat kebijakan inklusif dengan melibatkan semua kementerian dan lembaga untuk memberi masukan. “Mungkin yang belum dilibatkan adalah lembaga riset independen untuk membahas poin per poin atau pasal per pasal,” ujarnya.
Dalam hal ini, lembaga riset independen bisa menjalin kerja sama dengan BRIN, selain dengan kementerian/lembaga, maupun pemerintah daerah untuk mengadvokasi sebuah produk pengetahuan hasil riset berbasis bukti untuk mendorong terciptanya kebijakan inklusif. “Kami terbuka. Kalau ada kerja sama maka kami akan mendapat banyak insight atau masukan,” kata Najib. (*)