TEMPO.CO, Jakarta - Salah satu perwakilan warga yang tergabung Aliansi Masyarakat Tani (Arti), Sofyan Maragau, menceritakan asal-usul aksi penolakan tambang emas di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Aksi terakhir pada Sabtu, 12 Februari 2022, berakhir dengan pembubaran oleh kepolisian yang mengakibatkan satu demonstran tewas.
Sofyan menjelaskan bahwa penolakan aktivitas tambang itu sudah mulai muncul pada 2010-2011, termasuk munculnya perlawanan dari masyarakat setempat. Penolakan dilakukan oleh tiga kecamatan yaitu Kecamatan Toribulu, Kasimbar, dan Tinombo Selatan, Kabupaten Parigi Moutong.
“Saat itu masih tambang ilegal masyarakat, dan sudah kami dorong ke pemerintah kecamatan untuk melakukan mediasi, agar jangan sampai ada konflik di antara masyarakat,” ujar dia saat dihubungi Minggu, 20 Februari 2022.
Kemudian pada tahun 2012, pertama kali aksi unjuk rasa menolak tambang emas dilakukan. Namun tidak ada mediasi dari pihak pemerintah, tapi massa berhasil memasukkan berkas tuntutan ke Kantor Gubernur Sulawesi Tengah dan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral.
“Kita punya berkas tuntutan itu dan alhamdulillah diterima semua dan rekapan surat terima itu kita punya, ada data serah terima,” katanya sambil menambahkan bahwa setelah itu kabar akvitas pertambangan sempat tidak beroperasi beberapa bulan.
Kemudian isu pertambangan muncul kembali setahun berikutnya pada 2013 dan memicu warga berunjuk rasa, yang dikoordinatori Sofyan. Masyarakat memblokade jalur transportasi. Saat itu, Bupati Parigi Moutong mengerahkan aparat kepolisian dan TNI untuk mendatangi lokasi tambang dan menyita sejumlah alat pertambangan.
Pada 2019-2020, PT TK memproses perizinan tambang dan mendapatkannya yang mencakup lebih dari 15.000 hektare lahan. “Awalnya, kami mengira hanya di wilayah Kasimbar saja yang luasnya 9.000 hektare, selebihnya di wilayah lain tapi masih di Kabupaten Parigi Moutong. Nah kita tidak pernah tahu, ternyata akan mencakup wilayah Tinombo Selatan juga,” tutur dia.
Informasi mengenai PT TK itu yang menyulut kekesalan warga, yang kemudian berunjuk rasa pada 7 Februari menuntut Gubernur Rusdy Mastura mencabut izin tambang perusahaan itu. Lalu, Rusdy melalui Tenaga Ahli Gubernur Bidang Kemasyarakatan Antar Lembaga dan HAM, Ridha Saleh, berjanji untuk menemui massa aksi.
“Kawan-kawan saat itu membubarkan diri sekaligus menanti janji bahwa akan bertemu dengan Gubernur Rusdy,” katanya.
Sehingga, massa kembali menggelar aksi pada 12 Februari. Menurut Sofyan, apa yang dilakukan saat itu bukanlah aksi yang macam-macam, melainkan aksi penyambutan Rusdy. Aksi tersebut ramai karena mengundang lebih banyak warga yang pro penolakan tambang agar mendengar respons Gubernur langsung. “Sampai menyediakan tumpeng segala.”
Namun, sejak pagi hingga malam hari, menunggu Rusdy untuk menyerahkan berkas penolakan yang berisi petisi yang sudah ditandatangani sekitar 5-6 ribuan orang, tapi tak kunjung datang. Kemudian, massa memblokir jalan di Desa Siney, Kecamatan Tinombo Selatan, yang kemudian dibubarkan paksa aparat yang berujung pada penembakan.