TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STIH) Jentera, Bivitri Susanti, bercerita soal empat ancaman terkini terhadap kebebasan berpendapat di Tanah Air. Salah satunya, kata dia, yaitu adanya pembatasan dari pemerintah berkaitan dengan pendaftaran dan pendanaan organisasi non-pemerintah (ornop) atau non-governmental organization (NGO).
"Tidak terlalu kelihatan tapi sebenarnya tengah terjadi, terus terang saja sejak pemerintahannya pak Jokowi," kata dia dalam diskusi IM57+ Institute pada Sabtu, 19 Februari 2022.
Beberapa organisasi, kata Bivitri, harus diwawancarai oleh lembaga pemerintah untuk mendapatkan dana. "Silahkan tanya kawan-kawan yang bergiat di ornop-ornop," kata dia.
Selain itu, kata Bivitri, ada juga beberapa organisasi internasional yang meminta tolong kepada dirinya untuk memberi penjelasan.
"Kenapa misalnya mereka sangat dipersulit untuk bergerak di Indonesia, dalam hal keimigrasian dan sebagainya, dan tak bisa beri dana ke masyarakat sipil, harus ke kementerian," kata dia.
Penjelasan ini disampaikan Bivitri dalam diskusi bertajuk "Resiko Membongkar Oligarki: Kaitan Investigasi Korupsi dan Kebebasan Berekspresi". Adapun ancaman kedua yaitu serangan fisik dan kekerasan.
Bivitri menyoroti serangan yang sangat rawan dihadapi oleh mereka yang ada di daerah, bukan di kota besar seperti Jakarta. "Kawan-kawan di lapangan, meninggal dunia, disiksa, serangan fisik, dan kekerasan, itu nyata," kata dia.
Bivitri kemudian mencontohkan kasus yang menimpa advokat Jurkani yang meninggal dunia. Jurkani meninggal ketika menjalankan tugasnya sebagai advokat yang mengadvokasi penolakan tambang ilegal di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.
Ancaman ketiga yaitu serangan dan kekerasan siber. Bahkan, Bivitri mengaku sempat mendapatkan serangan siber yang bersifat seksual dalam sebuah pertemuan virtual via zoom beberapa waktu lalu. "Cukup mengerikan dan traumatis," kata dia.
Lalu ancaman ketiga yaitu penggunaan sistem peradilan (juducial harassment). Ia menilai ancaman ini sangat parah dan dibongkar. Salah satu kasusnya yaitu para kasus antara penggiat HAM Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti dengan Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan. "Tak hanya tekanan pidana, tapi juga perdata, mereka (Haris dan Fatia) juga harus menghadapi," kata dia.
Hingga berita ini diturunkan, Tempo masih berupaya meminta penjelasan dari pemerintah soal hal tersebut.
Baca: IPW Minta Kapolri dan DPR Usut Motif Pengerahan Polisi ke Wadas