TEMPO.CO, Jakarta - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) meminta masyarakat tidak terpancing melabeli sejumlah partai politik sebagai partai teroris usai ditangkapnya kader beberapa partai berbasis Islam yang ditangkap Datasemen Khusus Anti Teror atau Densus 88.
Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris mengungkapkan kader-kader partai, seperti Partai Dakwah dan Partai Ummat yang telah ditangkap Densus 88 beberapa waktu lalu itu karena memang kader-kader tersebut terpapar paham terorisme sebagai individu.
"Itu bahasa lain dari yang pernah heboh bahwa kenapa Islam tertuding, tertuduh, karena masyarakat Indonesia mayoritas umat Islam. Jadi bukan partainya, tetapi lebih kepada individu yang ada di partai itu," ujarnya dalam sebuah diskusi di kawasan Kuningan, Jakarta, Jumat, 18 Februari 2022.
Meski begitu, dia menekankan, kejadian ini seharusnya menjadikan partai-partai politik lebih waspada lagi dalam merekrut kader. Irfan mengusulkan, perekrutan kader oleh partai harus semakin didasari pada visi-misi partai itu sendiri.
"Tidak ada partai yang dibentuk untuk membesarkan teroris, tetapi waspada dia akan datang membawa misi melalui person-person tertentu yang pada akhirnya orang itu merusak lembaga, organisasi dan agama," tutur Irfan.
Dia juga menekankan, kejadian tersebut menjadi bukti bahwa pelaku teroris dan mereka yang terpapar radikalisme telah merubah strateginya supaya bisa semakin berbaur dengan masyarakat. Strategi ini, kata dia, diinisiasi oleh Pentolan ISIS Abu Bakar al Baghdadi.
"Nah, dia menggunakan sistem demokrasi untuk masuk menguasai lembaga secara formal, jangankan lembaga negara, jangankan partai, organisasi umat yang sangat kita harapkan melahirkan fatwa-fatwa atas kegelisahan umat terhadap persoalan kebangsaan itu juga dimasukin," ujarnya.
Menurut Irfan, para pelaku teroris saat ini dalam menyebarkan ideologi atau paham radikalnya tidak lagi menggunakan simbol-simbol tertentu seperti yang tertuang dalam Pedoman Umum Perjuangan Jamaah Islamiyah (PUP JI). Karenanya, individu di lembaga seperti Majelis Ulama Indonesia hingga TNI atau Polri bisa terpapar.
"Buktinya mohon maaf, TNI dan Polri juga ada yang terpapar. Jadi sekali lagi bukan lembaganya tapi intinya mereka harus, ke manapun menyesuaikan. Jadi data-data yang berseliweran kita tidak boleh generalisir," tegas dia.