TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengatakan pihaknya menemukan dugaan korupsi dalam proyek satelit di Kementerian Pertahanan. Burhanuddin menduga korupsi ini melibatkan unsur TNI dan sipil.
“Berdasarkan hasil materi paparan penyidik, disimpulkan terdapat dua unsur tindak pidana korupsi yang diduga ada keterlibatan dari unsur TNI dan sipil,” kata Jaksa Agung Burhanuddin dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Senin, 14 Februari 2022.
Burhanuddin berujar telah memerintahkan agar penanganan perkara ini dilakukan oleh Kejaksaan Agung dan Pusat Polisi Militer, serta Badan Pembinaan Hukum TNI. Menurut dia Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Militer telah diperintahkan agar segera berkoordinasi dengan TNI.
Jaksa Agung Muda, kata dia, akan segera membentuk tim penyidik koneksitas untuk menangani perkara tersebut. “Diharapkan tim penyidik koneksitas dapat segera menetapkan tersangka,” kata Burhanuddin.
Kasus bermula pada 19 Januari 2015 saat Satelit Garuda-1 keluar orbit dari Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur. Hal ini membuat terjadinya kekosongan pengelolaan oleh Indonesia. Merujuk pada peraturan International Telecommunication Union (ITU) yang ada di bawah PBB, negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk kembali mengisi slot itu. Jika tak dipenuhi, maka slot dapat digunakan negara lain.
Di Indonesia, slot ini dikelola oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Namun Kementerian Pertahanan kemudian meminta hak pengelolaan ini dengan alasan pembangunan Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan). Untuk mengisi slot itu, mereka menyewa Satelit Artemis yang merupakan satelit sementara pengisi orbit (floater) milik Avanti Communication Limited (Avanti).
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud Md mengatakan Kemenhan membuat kontrak dengan Avanti, namun belum memiliki anggaran untuk keperluan tersebut. Kontrak dengan Avanti diteken pada 6 Desember 2015, padahal persetujuan di Kominfo untuk pengelolaan slot orbit 123 baru keluar 29 Januari 2016. "Belum ada kewenangan dari negara dalam APBN bahwa harus mengadakan itu, melakukan pengadaan satelit dengan cara-cara itu," kata Mahfud.
Lebih parah lagi kontrak Satelit orbit 123 tak hanya dilakukan dengan Avanti. Untuk membangun Satkomhan, Kemenhan juga menandatangani kontrak dengan Navajo, Airbus, Hogan Lovel, dan Telesat dalam kurun waktu 2015-2016. Menurut Mahfud Md, saat itu juga anggaran belum tersedia. Pada 2016 anggaran sempat tersedia namun dilakukan self blocking oleh Kemenhan.
Mahfud Md menuturkan Presiden Joko Widodo meminta agar masalah satelit orbit 123 itu segera dibawa ke pidana. Bahkan, kata dia, Menhan Prabowo dan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa tegas mengatakan tidak boleh ada pengistimewaan. "Saya berbicara dengan Jaksa Agung yang ternyata menyatakan kesiapannya dengan mantap untuk mengusut kasus ini,” kata Mahfud.
ANTARA
Baca Juga: Kejagung Taksir Kerugian Negara dari Perkara Satelit Kemenhan Rp 500 M