TEMPO.CO, Jakarta - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengungkapkan komitmennya menolak dilanjutkannya pembahasan revisi Undang-undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP). Walaupun, RUU ini telah disahkan dalam rapat paripurna menjadi RUU usul DPR.
Juru Bicara PKS Ahmad Mabruri menekankan, ini karena urgensi RUU tersebut. Menurutnya RUU PPP merupakan calon UU yang akan menjadi payung hukum penyusunan seluruh produk peraturan perundang-undangan di Indonesia, sehingga tidak bisa dibuat secara ugal-ugalan.
"Pembahasan saja hanya tiga kali pertemuan," kata Mabruri saat dihubungi, Rabu, 9 Februari 2022.
Apalagi, dia melanjutkan, pembentukan dan penyusunan RUU ini yang tiba-tiba terkesan hanya memberikan payung hukum terhadap UU Cipta Kerja yang oleh Mahkamah Konstitusi diminta dilakukan perbaikan karena dianggap cacat formil. UU Cipta Kerja adalah UU yang menerapkan metode Omnibus Law.
"PKS tetap konsisten menolak UU Ciptaker dan RUU PPP jika belum ada perbaikan. Ini RUU ugal-ugalan persis seperti RUU IKN," tegasnya.
Meski demikian, Mabruri menekankan, Fraksi PKS di parlemen saat ini memang sementara ini belum menentukan langkah lanjutan mengupayakan supaya pembahasan RUU dilakukan dengan prosedur yang benar. Sebab, saat rapat paripurna hanya Fraksi PKS yang menolak RUU tersebut.
Fraksi PKS DPR RI menjadi satu-satunya fraksi di parlemen yang menolak menyetujui pengesahan revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) sebagai RUU Inisiatif DPR pada Rapat Paripurna DPR RI, Selasa 8 Februari 2022.
Anggota Badan Legislasi DPR RI Fraksi PKS, Bukhori Yusuf, mengungkapkan pembahasan RUU PPP di badan legislasi DPR selama ini dilakukan secara tergesa-gesa dan minim partisipasi publik. Oleh sebab itu, dia menyampaikan tujuh catatan saat menyampaikan pandangan fraksi di rapat paripurna kemarin.
Pertama, kata Bukhori, terkait metode Omnibus dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, haruslah bertujuan untuk mereformasi proses pembentukan peraturan perundang-undangan agar menjadi lebih baik, berkualitas, dan berpihak pada kepentingan rakyat dan negara.
Kedua, lanjut Bukhori, Fraksi PKS mengusulkan metode Omnibus hanya dapat digunakan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan terhadap satu bidang khusus tertentu atau kluster, serta adanya alokasi waktu yang memadai untuk penyusunan agar tidak dilakukan dengan tergesa-gesa dengan mengabaikan partisipasi publik.
Ketiga, Fraksi PKS menolak ketentuan dalam RUU PPP tentang perbaikan RUU setelah persetujuan bersama antara DPR dan Presiden dalam Rapat Paripurna DPR, karena hal tersebut membenarkan praktik legislasi yang tidak baik sehingga merendahkan marwah pembentuk undang-undang.
Keempat, dalam penyusunan peraturan perundang-undangan harus melibatkan pihak yang pro dan kontra secara seimbang serta sebanyak-banyaknya partisipasi masyarakat, baik dari kalangan akademisi perguruan tinggi, organisasi masyarakat, maupun masyarakat umum secara keseluruhan dengan memperhatikan sebaran penduduk di seluruh wilayah Indonesia.
Kelima, Fraksi PKS memberikan catatan perihal pengaturan tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang dapat dilakukan berbasis elektronik untuk diperjelas mengenai ruang lingkup dan pembatasannya agar dalam praktiknya tidak menimbulkan multitafsir.
Keenam, Fraksi PKS mengkritisi perihal pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang diambil alih menjadi dikoordinasikan oleh Menteri atau Kepala Lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan karena hal ini bertentangan dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah.
Ketujuh, Fraksi PKS menegaskan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak dimaksudkan semata-mata untuk memberikan payung hukum terhadap UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, namun sebagai upaya untuk menyusun tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan dalam rangka perbaikan kualitas legislasi yang memihak kepada kepentingan rakyat.