TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Pusat Riset Politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati mengatakan tren safari politik oleh pejabat publik tak lepas dari kepentingan Pemilu 2024.
"Mereka berupaya untuk berinvestasi nama di ruang publik sejak jauh hari sehingga memudahkan untuk membentuk relawan di berbagai daerah," kata dia saat dihubungi, Sabtu, 5 Februari 2022.
Beberapa pejabat publik memang sudah sering safari di luar wilayahnya. Sebut saja Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Begitu juga dengan beberapa menteri Kabinet Indonesia Maju dan pimpinan legislatif yang menjadi ketua umum partai politik.
"Mengingat pejabat publik seharusnya netral dari kepentingan politik praktis. Kalau ditinjau secara perspektif pro, safari dini bisa jadi diselipkan sebagai bagian dari kunjungan kerja atau dinas luar kota sehingga safari itu masih bisa ditoleransi," kata dia.
Di sisi lain, Wasisto mengatakan safari politik itu juga bisa dilihat dari perspektif kontra. Sebab, dianggap tidak etis menggunakan jabatan publik untuk kepentingan pribadi.
"Kalau ditinjau dari segi Kontra, safari politik itu dianggap tidak etis karena menggunakan jabatan publik untuk kepentingan pribadi. Hal ini rentan bisa terkena sanksi oleh Kemendagri terutama bagi kepala daerah," tutur Wasisto.
Meski demikian, dia mengakui, safari politik yang dini dilakukan oleh pejabat publik bisa efektif mempengaruhi preferensi pemilih. Namun, harus dilakukan di daerah-daerah yang terpetakan telah menjadi basis suara partai politik yang ingin didekati.
"Efektif untuk bisa mempengaruhi preferensi pemilih. Akan tetapi kalau safari politik itu dilakukan di daerah basis loyalis A atau B, safari politik bisa tidak efisien karena pemilih sudah terlanjur loyal pada figur tertentu," ucap Wasisto.