TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara periode 2018-2020, Tjandra Yoga Aditama, menjelaskan hal yang menjadi pertimbangan kebijakan pembelajaran tatap muka atau PTM di sekolah. Karena kasus Covid-19 beberapa hari ini kembali meningkat dan sudah mencapai ribuan kasus per hari.
“Setidaknya ada lima hal yang dapat menjadi pertimbangan tentang kebijakan PTM di hari-hari sekarang ini,” ujar Tajndra pada Selasa, 25 Januari 2022. Berikut lima pertimbangannya.
1. Surat dari lima organisasi profesi dokter
Pada 13 Januari 2022, lima Organisasi Profesi Dokter Spesialis (Anak, Paru, Penyakit Dalam, Jantung dan Anastesi) membuat surat keempat sehubungan dengan evaluasi proses PTM. Di dalamnya, kata Tjandra, disebutkan bahwa anak dan keluarga sebaiknya tetap diperbolehkan memilih untuk PTM atau Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
“Anak dengan komorbid memeriksakan diri dulu, kelengkapan imunisasi untuk dapat ikut PTM, serta mekanisme kontrol dan buka tutup sekolah,” kata Tjandra.
2. Kasus Covid-19 terus meningkat
Guru Besar di Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) itu mengatakan bahwa kasus Covid-19 belakangan ini terus meningkat. Bahkan, kata dia, bukan hanya jumlah absolutnya yang sudah sekitar 3.000-an sehari, tapi juga ada kecenderungan peningkatan angka kepositifan, serta perlu pula menilai perkembangan angka reproduksi (reproductive number).
“Semuanya menunjukkan potensi penularan di masyarakat, apalagi angka transmisi lokal varian Omicron juga terus meningkat,” tutur Tjandra.
3. Long Covid-19 dan komplikasi penyakit
Sebagaimana juga disebut dalam surat lima organisasi profesi dokter, anak bisa saja mengalami komplikasi berat yaitu multisystem inflammatory in children associated with Covid-19 (MIS-C). “Dan bukan tidak mungkin juga ada komplikasi Long Covid,” katanya lagi.
Pendapat para pakar dari beberapa negara, Tjandra melanjutkan, seperti dari South Dakota Amerika Serikat, juga mulai membicarakan kemungkinan Long Covid pada anak ini, walaupun memang tentu perlu penelitian lebih lanjut. “Tetapi kita tentu tidak ada yang ingin ada dampak seperti ini terjadi pada anak-anak kita,” kata dia.
4. Angka masuk rumah sakit
Penelitian di Afrika Selatan dengan data dari 56.164 Covid-19 yang masuk rumah sakit, menemukan bahwa angka masuk rumah sakit (admission rate) anak di bawah 4 tahun ternyata 49 persen lebih tinggi pada Omicron daripada Delta. Data lain dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika menyebutkan bahwa angka anak masuk rumah sakit meningkat di Amerika.
Rata-rata di negeri Abang Sam itu, 4,3 balita per 100.000 angka masuk rumah sakit pada minggu awal Januari, meningkat dari angka 2,6 per 100.000 daripada minggu sebelumnya. “Kalau dibandingkan dengan angka awal Desember maka ada peningkatan 48 persen, peningkatan tertinggi pada kelompok umur ini selama pandemi,” ujar Tjandra.
5. Omicron masuk ke daerah
Beberapa informasi menyebutkan bahwa ada daerah sebagai medan perang pertama dalam melawan Omicron di Indonesia. Di daerah itu, Tjandra yang saat ini menjabat sebagai Direktur Pascasarjana Universitas YARSI Jakarta itu melanjutkan, disebutkan juga sudah ada beberapa kecamatan yang masuk zona merah.
“Jadi, setidaknya di zona merah dalam suatu medan perang, sebaiknya kalau upaya perlindungan kesehatan ditingkatkan, termasuk evaluasi pelaksanaan PTM. Setidaknya dimulai di daerah-daerah itu,” katanya.
Baca: Indonesia Catat Kasus Kematian dari Omicron, Ini 7 Rekomendasi Dokter Paru