TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan empat kali Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada awal 2022. Tiga tersangka OTT KPK di antaranya menjabat sebagai kepala daerah, yaitu Bupati Penajam Paser Utara, Bupati Langkat, Wali Kota Bekasi. Ketiganya, disangka menerima suap terkait proyek pengadaan barang dan jasa.
Menanggapi hal tersebut, Mantan Ketua Wadah Pegawai (WP) KPK, Yudi Purnomo Harahap mengatakan, apabila sudah ada tiga kepala daerah yang tertangkap tangan melakukan tindakan korupsi harusnya yang lain juga sudah kapok. Namun, kenyataan di lapangan tidak demikian.
“Secara logika, ketika ada teman sejawatnya yang dicokok KPK, kan harusnya kapok gitu ya. Tetapi kemudian mereka tetap ada, tetap korupsi, tetap menerima suap,” ujar Yudi melalui kanal Youtube-nya yang dirilis pada Kamis, 20 Januari 2022.
Menurut Yudi, para kepala daerah yang melakukan korupsi sejatinya dilatarbelakangi oleh niat jahat. Lalu, didukung dengan adanya persekongkolan dan celah anggaran. Misalnya, ketika suatu daerah berencana mengadakan proyek pembangunan infrastruktur, maka disitulah kepala daerah mengincar karena ada uangnya.
Guna memuluskan niat jahat korupsi dari proyek pembangunan itu, kata Yudi, sistem pembayaran harus dilakukan di muka atau sebelum proyek dijalankan. Bila dibayar di akhir, kepala daerah khawatir akan pengusaha yang tidak melunasi, rugi, hingga terhimpit hutang.
Baca Juga:
“Nah di situlah celahnya, Bupati atau Wali kota akan lebih leluasa memainkan anggaran bila dibayar di depan. Terserah nanti proyeknya seperti apa, apakah sesuai spek atau tidak, ya tentu tak dipedulikan oleh mereka karena uang sudah masuk,” kata Yudi.
Pada praktiknya, misalnya sebuah proyek memiliki anggaran 25 miliar. Suap yang diterima kepala daerah dari penguasa taruhlah 10 persennya. Sisanya, digunakan untuk menjalankan proyek, dan tentunya diatur kembali oleh kepala daerah guna mengambil keuntungan lebih.
Yudi menuturkan bahwa aski jahat yang biasanya dilakukan koruptor adalah dengan menekan harga semua bahan material yang digunakan. Dengan kata lain, mengorbankan spek yang seharusnya dipakai. Hal itu dilakukan bukan tanpa bantuan, melainkan melibatkan persekongkolan dengan pejabat di bawah kepala daerah tersebut.
“Bupati atau Wali Kota mengarahkan kepada anak buahnya bahwa yang menang adalah pengusaha X dengan rincian anggaran yang sudah diutak-atik. Biasanya, anak buahnya tidak berani melawan karena memang birokrasi itu up-down, meski sistemnya sudah bagus,” ujar Yudi.
Yudi berharap agar kepala daerah berhenti untuk melakukan tindak pidana korupsi. Dia menyayangkan, di situasi sulit karena pandemi seharusnya mereka memprioritaskan kesadarannya kepada kesejahteraan rakyatnya, alih-alih merampas uang rakyat.
“Masyarakat membutuhkan kepala daerah yang tidak korupsi, masyarakat ingin maju. Di tengah masa pendem ini kok masih saja korupsi. Nuraninya itu harus dikedepankan,” kata Yudi Purnomo Harahap.
HARIS SETYAWAN
Baca: Daftar 3 Kepala Daerah yang Terjaring OTT KPK pada Awal 2022
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.