TEMPO.CO, Jakarta - Deputi V Kantor Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani menyatakan pemerintah mendukung kekerasan seksual berbasis online diakomodasi dalam rancangan undang-undang tindak pidana kekerasan seksual (RUU TPKS).
“Kekerasan seksual di dunia digital sudah marak terjadi. Maka hal ini harus diatur secara penuh dalam undang-undang,” kata Jaleswari dalam keterangannya, Kamis, 20 Januari 2022.
Jaleswari mengatakan bahwa publik resah dengan tindak kekerasan seksual di ruang digital. Merujuk catatan tahunan Komnas Perempuan selama 2020-2021, terjadi peningkatan kasus kekerasan seksual berbasis online dari 241 menjadi 940 kasus.
Ia menilai spektrum kekerasan seksual di dunia digital bukan hanya seputar pelecehan online, tapi juga tindakan memperdaya, peretasan, konten digital, pelanggaran privasi, ancaman distribusi foto atau video pribadi.
Mirisnya, kata Jaleswari, kekerasan seksual digital ini paling banyak menimpa remaja perempuan. Pelakunya rata-rata adalah orang yang pernah dekat dengan korban, seperti pacar atau mantan pacar. Sehingga, Gugus Tugas Percepatan RUU TPKS memastikan akan memasukkan kekerasan seksual digital atau online dalam daftar investarisasi masalah (DIM) setelah ada draf RUU TPKS yang resmi dari DPR.
Jalewari menyampaikan bahwa perlindungan korban menjadi prioritas utama pemerintah dan pelaku kejahatan seksual akan diberikan hukuman yang berat. Menurut dia, hal terpenting dalam kasus kekerasan seksual berbasis online ada dalam soal pembuktian.
“Di dalam proses korban melaporkan, nantinya hal-hal yang terkait dengan bukti berupa rekaman suara, rekaman gambar bisa menjadi alat bukti,” kata dia soal RUU TPKS.
Baca: Aktivis Berharap Pembahasan RUU TPKS Bisa Tuntas Juli 2022
FRISKI RIANA