TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman dan 38 lembaga riset lainnya dilebur ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Banyak pihak kontra dengan kebijakan ini, bahkan hingga melayangkan petisi penolakan.
"Saya kira itu (petisi) bagus agar BRIN lebih hati-hati dalam restrukturisasi atau apapun yang bertujuan untuk membuat kelembagaan itu menjadi baik," kata pakar administrasi publik Universitas Airlangga (Unair), Falih Suaedi, dikutip dari laman unair.ac.id, Senin, 17 Januari 2021.
Falih mengatakan kebijakan itu sebenarnya baik karena lebih banyak mengatur aspek kelembagaan. Peleburan itu bertujuan supaya LBM Eijkman menjadi lebih definitif, seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang telah berada di bawah koordinasi BRIN.
Tetapi, kata dia, peleburan itu membawa konsekuensi bagi sumber daya manusianya, yaitu para periset yang harus masuk ke dalam skema Aparatur Sipil Negara (ASN).
"Periset itu beda dengan ASN. Periset itu kan membutuhkan satu mekanisme yang lebih baik tidak dibebani pada hal-hal yang terlalu birokratis," kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair ini.
Dia pun menyayangkan lima opsi yang diberikan pemerintah kepada para periset LBM Eijkman. Salah satunya adalah status honorer nonperiset yang nanti diambil alih oleh Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
"Ini kan berarti (LBM Eijkman) sebagai tim besar sudah pincang. Jadi rumahnya saja didekatkan, tetapi ekosistem periset ini dipertahankan supaya tetap bisa bekerja dengan baik," ujar Falih.
Kelima opsi dari pemerintah itu, kata dia,, sebenarnya bisa disederhanakan kembali dengan kewenangan dari pemerintah. Seperti halnya para pemeriksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang akhirnya diterima di Kepolisian Republik Indonesia (POLRI).
Menurut dia, para periset harusnya dibiarkan saja tetap jalan. Nanti bisa ditata pelan-pelan dan step-by-step. Kalau perlu pemerintah mengeluarkan diskresi di beberapa bagian supaya para periset itu bisa terus berkarya. Diskresi akan menjadikan para periset merasa nyaman dan tidak terpengaruh dengan kebijakan peleburan.
"Mau masuk koordinasi BRIN silahkan saja. Namun, ritme ekosistem yang sudah terbangun sebagai lembaga peneliti handal dan punya reputasi internasional itu jangan terlalu banyak diintervensi," kata mantan Dekan FISIP Unair ini.
Falih menyarankan supaya pelaksanaan kebijakan seperti ini harus dilaksanakan dengan bijak. Hal-hal nonfisik, seperti para periset ini harus diperhatikan dengan bijaksana.
AMELIA RAHIMA SARI
Baca juga: Pendiri Eijkman Sayangkan Peneliti yang Lepas Saat Melebur ke BRIN