TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, mengatakan bursa calon presiden atau capres 2024 masih terbuka lebar. Alasannya, hingga saat ini tidak ada tokoh yang mampu mengakomodir semua kalangan. Menurut dia, hal tersebut merupakan imbas dari pilkada serentak 2016.
“Polarisasi dan stigma jadi semakin kencang kepada tokoh-tokoh tertentu. Hal ini juga membuat peta pemilih pada 2024 semakin kompleks,” kata dia pada Kamis 13 Januari 2022.
Dengan adanya kompleksitas pada peta politik masyarakat, Burhanuddin mengatakan tokoh dengan elektabilitas tinggi saja tidak cukup. Sebab, ia menuturkan partai politik akan bersikap realistis dalam mengusung capres. Jadi parpol akan selektif dengan menentukan kriteria tertentu bagi capres yang akan mereka usung.
“Secara umum ada tiga kriteria yang mempengaruhi yaitu elektoral, popularitas, dan penerimaan publik,” kata dia
Berdasarkan analisis tersebut, Burhanuddin menyebut, para tokoh dengan elektabilitas rendah masih berpeluang untuk menyalip tokoh-tokoh dengan elektoral tinggi. Hal ini berarti juga membuka peluang para ketua umum partai yang elektoralnya masih berada di papan bawah.
“Saya rasa ini saat yang tepat bagi ketum partai seperti Airlangga Hartarto, Puan Maharani, Cak Imin jika ingin meningkatkan popularitas mereka. Tapi ini dengan catatan popularitas dengan citra baik di mata publik,” kata Burhanuddin.
Sebelumnya, Indikator Politik Indonesia merilis survei teranyar tingkat keterpilihan tokoh potensial calon presiden atau capres 2024. Pada simulasi 19 nama, elektabilitas Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto berada di posisi teratas. Kemudian disusul Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Baca juga: Indikator Politik Nilai Belum Ada Kandidat Capres 2024 yang Menonjol