TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mengungkapkan sejumlah kejanggalan saat persidangan kasus penganiayaan jurnalis Tempo Nurhadi. Kedua terdakwa yaitu Bripka Purwanto dan Brigadir Muhammad Firman Subkhi menjalani sidang di Pengadilan Negeri Surabaya, Rabu, 12 Januari 2022.
Direktur LBH Pers, Ade Wahyudi mengaku, terdapat tiga kejanggalan dari proses persidangan. Pertama berkaitan dengan proses etik para terdakwa.
"Seharusnya perkara etik dari si para terdakwa ini bisa berjalan tidak menunggu putusan yang akan inkrah. Jadi harusnya bisa dilihat tuh, harus bisa diproses propam," kata dia saat dihubungi, Kamis, 13 Januari 2022.
Adapun kejanggalan yang kedua, Ade melanjutkan, soal minimnya upaya jaksa atau penuntut melebarkan perkara dalam proses persidangan. Sebab, menurutnya perkara ini melibatkan banyak pelaku.
"Ini kan tindakan kekerasan secara bersama-sama tapi dalam proses pesidangannya Jaksa kurang ekstra untuk menulusuri pelaku-pelaku lain, dalam pembuktian kah, dalam saksi kah," ungkap Ade.
Sementara itu, kejanggalan ketiga dikatakannya terkait dengan masalah teknis persidangan, yaitu sangat kecilnya mikrofon Majelis Hakim saat membacakan putusan terdakwa. Para hadirin sulit mendengar pertimbangan hakim.
"Padahal mik-nya saat di tes satpam kencang tapi pas putusan sangat kecil, jadi kita sangat ekstra untuk dengarkannya dan saya sendiri tidak dapat jelas pertimbang-pertimbangannya secara utuh jadi untuk menilai putusan secara utuh harus dibaca dulu," tuturnya.
Sebagai informasi, kedua terdakwa dijatuhi vonis hukuman penjara 10 bulan oleh Majelis Hakim. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa sebelumnya, yaitu satu tahun enam bulan penjara.
Menurut Majelis Hakim, kedua pelaku yang merupakan anggota kepolisian itu terbukti bersalah karena melanggar Pasal 18 Ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Mereka dengan sengaja melakukan tindakan yang menghambat dan menghalangi kerja-kerja pers.
Baca: Vonis Penganiaya Jurnalis Tempo Nurhadi, Ahli Hukum Pers UGM: Kurang Optimal