INFO NASIONAL - Wakil Ketua MPR RI, Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mengkritisi penetapan anggota Majelis Masyayikh sesuai UU Pesantren oleh Menteri Agama, setelah proses pemilihan oleh Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA). Ia menilai hal tersebut belum memenuhi asas representatif yang dapat mewakili 3 jenis pesantren yang diakui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.
Menurut HNW, represensi yang mewakili tiga jenis pesantren sangat penting, karena pembetukan anggota Majelis Masyayikh merupakan gelaran perdana, dan akan dirujuk serta menjadi pola pembentukan Majelis Masyayikh berikutnya. Karena itu, mestinya Menag menghadirkan “sunnah hasanah” atau tradisi yang baik, benar dan adil. Mampu mengakomodasi secara proporsional representasi dari tiga jenis Pesantren yang diakui oleh Pasal 2 ayat (2) UU Pesantren, yakni pesantren yang mengkaji kitab kuning (Tradisional), Pesantren dengan sistem Muallimin (Modern) dan Pesantren yang memadukan ilmu umum dan agama.
“Komposisi Majlis Masyaikh yang terpilih belum merepresentasikan tiga jenis pesantren yang diakui oleh UU Pesantren. Baru dua jenis yang diwakili, dari tiga jenis yang ada, yaitu Pesantren Salafiyah (yang mengkaji kitab kuning) dan Pesantren yang mengintegrasikan antara pendidikan Agama dengan pendidikan Umum. Sementara yang jenis Muallimin (Modern), yang pesantrennya juga besar dan banyak, malah belum terwakili sama sekali,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Kamis, 30 Desember 2021.
Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengatakan bahwa perundang-undangan memang tidak secara spesifik mengatur harus adanya keterwakilan tersebut. Namun sebagai negara Pancasila yang mempraktikkan demokrasi, asas perwakilan dan musyawarah yang ada dalam sila keempat Pancasila harus dirujuk.
Pasal 29 UU Pesantren menyebutkan Majelis Masyayikh memiliki beberapa tugas, yakni menetapkan kerangka dasar dan struktur kurikulum pesantren, memberi pendapat kepada Dewan Masyayikh dalam menentukan kurikulum pesantren, merumuskan kriteria mutu lembaga dan lulusan pesantren, dan merumuskan kompetensi serta profesionalitas pendidik dan tenaga kependidikan.
Juga melakukan penilaian serta evaluasi dan pemenuhan mutu. Serta memeriksa keabsahan setiap syahadah atau ijazah Santri yang dikeluarkan oleh pesantren. Pasal ini niscaya menjadi pasal yang dirujuk sebagai rincian atas pasal 20 ayat 2 yang membatasi tapi tidak singkron dengan 3 jenis Pesantren yang diakui oleh UU Pesantren.
“Dengan kewenangan dan tugas yang sangat strategis, penting dan mencakup semua jenis Pesantren tersebut, maka sudah sewajarnya bila anggota majelis masyayikh merepresentasikan semua jenis pesantren yang ada dan diakui dalam UU Pesantren,” tutur HNW.
Ia berharap Menteri Agama dan AHWA segera mengoreksi kebijakannya dengan menambahkan jumlah anggota Majelis Masyayikh agar merepresentasikan 3 jenis pesantren yang diakui oleh UU Pesantren. Apalagi, Peraturan Menteri Agama Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren menyebutkan bahwa Majelis Masyayikh minimal terdiri dari 9 orang dan maksimal 17 orang. Sekarang baru ditunjuk 9 orang.
“Demi kemaslahatan Pesantren dan tegaknya UU secara adil dan benar, sewajarnya bila Menag dan AHWA melakukan koreksi dan perbaikan, dengan menambahkan anggota Majelis Masyaikh hingga dapat memenuhi asas keadilan dan representasi semua jenis pesantren yang diakui di dalam UU Pesantren. Agar Majelis Masyaikh dapat melaksanakan tugas dan kewenangannya secara baik dan benar untuk berkhidmat kepada semua jenis Pesantren, bukan hanya untuk sebagian jenis Pesantren saja, dengan mengesampingkan jenis Pesantren lain yang sama kedudukannya dihadapan hukum yaitu UU Pesantren,” katanya. (*)