TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad, mengatakan, kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyadapan berdasarkan UU Kejaksaan perlu dipagari dengan pedoman aturan pelaksanaan tentang teknis penyadapan.
“Persoalan penyadapan adalah persoalan yang sangat sensitif karena ada konflik antara kepentingan publik dan kepentingan privat,” kata dia dalam webinar bertajuk “Mengangkat Marwah Kejaksaan, Membangun Adhyaksa Modern”, Rabu 15 Desember 2021.
Ia berpandangan ada potensi pelanggaran HAM melalui kewenangan penyadapan bila Kejaksaan Agung melakukan tanpa pedoman aturan yang pasti. "Saya pernah membaca ada buku tentang penyadapan dan hak asasi manusia. Saya kira itu juga bisa menjadi referensi tentang bagaimana melaksanakan penyadapan,” tutur dia.
Jaksa membawa kepentingan publik saat melakukan proses penegakan hukum. Akan tetapi, mereka dapat masuk ke ranah-ranah pribadi dan piranti-piranti komunikasi individu dengan kewenangan penyadapan. Penyalahgunaan kewenangan terkait hal ini yang dapat melanggar hak asasi manusia.
“Harus ada komitmen. Hasil penyadapan itu memang yang seharusnya memiliki relevansi pada konteks penegakan hukum, jangan sampai membawa persoalan-persoalan individu yang tidak ada kaitannya dengan perkara. Misalnya, soal kehidupan rumah tangganya atau anaknya. Itu tidak memiliki korelasi dengan pembuktian perkara,” ucap dia.
Oleh karena itu, yang terpenting menurut dia adalah pedoman utama proses penyadapan yang dapat benar-benar menjamin bahwa penyadapan dilakukan dalam rangka kepentingan penegakan hukum.
Jaminan bahwa penyadapan tidak memiliki tendensi lain, selain untuk menegakkan hukum, dapat meminimalisir distorsi, penyimpangan, atau pelanggaran HAM.
Baca: UU Kejaksaan Disahkan, Jaksa Agung: Jangan Salahgunakan Kewenangan Penyadapan