TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengajak aparat penegak hukum menjadikan peringatan Hari Antikorupsi Internasional sebagai momentum mengawal akuntabilitas pemberian status Justice Collaborator.
Penggunaan JC dalam upaya pemberantasan korupsi menjadi salah satu strategi yang disepakati oleh PBB pada tahun 2003, yang kemudian diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui UU Nomor 7 tahun 2006. Pada tahun yang sama, terlahir juga UU Nomor 13 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang kemudian membuka ruang keringanan pidana bagi para pelaku untuk bekerja sama.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu menjelaskan bahwa UU Nomor 13 Tahun 2006 berjalannya waktu telah berubah menjadi UU Nomor 31 Tahun 2014, yang memperjelas syarat penanganan khusus dan penghargaan kepada Justice Collaborator.
Oleh karena itu, Edwin menyatakan bahwa pemberian status JC seharusnya tetap dilakukan dengan mengacu pada UU No. 31 Tahun 2014. "Ketidakpatuhan aparat penegak hukum dalam penetapan JC merupakan masalah serius yang perlu dibenahi," kata Edwin lewat keterangan tertulis pada Kamis, 9 Desember 2021.
Edwin mengatakan penegak hukum telah mengeluarkan 27.124 status JC bagi mereka yang berstatus narapidana terkait tindak pidana narkotika, dengan rincian BNN sebanyak 74 narapidana, Polri sebanyak 9.245 narapidana, dan Kejaksaan 17.804 narapidana.
Baca juga:
Namun di sisi lain, Edwin mengungkapkan bahwa LPSK dalam kurun waktu 2015-2020 hanya menerima 28 permohonan JC. Angka tersebut sangat jauh dari total penerbitan status JC oleh aparat penegak hukum terkait tindak pidana korupsi dan narkotika.
Data tersebut kemudian menimbulkan berbagai pertanyaan dari LPSK, terutama mengenai siapa saja narapidana yang diberikan status JC. Serta, kata Edwin, apa kontribusi para JC dalam mengungkap tindak pidana yang bersangkutan di dalamnya.
“Ketimpangan ini menjadi informasi penting bagi publik dalam kaitannya untuk mengetahui fenomena pemberian status JC, khususnya terkait kepatuhan penegak hukum dalam memberikan status JC sesuai ketentuan hukum yang berlaku,” ujar Edwin.
Hal ini dikarenakan, LPSK menilai bahwa jika pemberian JC tidak sesuai ketentuan, maka tak hanya berpotensi membahayakan proses penegakan hukum, tetapi juga berpotensi membuka celah baru terjadinya korupsi.
Edwin menekankan bahwa poin terpentingnya yaitu terkait bagaimana mengawal akuntabilitas pemberian status JC sesuai semangat pemberantasan korupsi, serta meminta aparat penegak hukum untuk tetap terus memberikan status JC sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
“Harapannya, agar semangat dan tujuan pemberian status Justice Collaborator bisa terlaksana dengan baik. Utamanya dalam mendukung pengungkapan pelaku korupsi sampai ke akar-akarnya,” ujar Edwin.
AQSHAL RAIHAN BUDIPUTRA