TEMPO.CO, Jakarta - Tim Advokasi Perjuangan Rakyat Kalimantan Selatan Melawan Oligarki meminta Bareskrim Polri mengambil alih kasus penganiayaan berujung kematian advokat Jurkani. Tim advokasi yang mengambil nama Jurkani sebagai akronim organisasinya itu menilai Polda Kalimantan Selatan dan Polres Tanah Bumbu gagal mengungkap otak di balik pembunuhan.
"Tim Advokasi akhirnya terdorong untuk mengajukan permohonan pengambilalihan dan pengawasan kepada Mabes Polri," kata anggota tim advokasi, Febri Diansyah, lewat keterangan tertulis, Selasa, 7 Desember 2021.
Mantan juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi itu mengatakan alasan permintaan tersebut. Salah satunya, kata dia, polisi setempat masih berkukuh bahwa penganiayaan dilakukan karena pelaku sedang mabuk dan penghadangan kendaraan.
Menurut Febri, banyak fakta dan belasan saksi yang mengungkapkan sebaliknya. Kekerasan kepada Jurkani itu, kata dia, telah direncanakan dan bukan kejadian mendadak.
Menurut Febri, kejanggalan proses penyidikan kasus ini juga terbukti ketika JPU Kejaksaan Negeri Tanah Bumbu mengembalikan berkas perkara kasus ini karena dinilai tidak memenuhi syarat formal dan material.
Anggota tim advokasi lainnya, Kisworo Dwi Cahyono mengatakan, selain masalah penanganan perkara, Tim Advokasi Jurkani juga mengkhawatirkan keamanan saksi kunci apabila diperiksa di Kalimantan Selatan. Dia menganggap para saksi akan lebih aman bila diperiksa di Mabes Polri.
"Kami berharap para saksi mampu menguak semua fakta dalam peristiwa ini," kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup Kalimantan Selatan ini.
Jurkani mengalami luka bacok serius setelah menerima serangan brutal di konsesi IUP Anzawara di Jalan Desa Bunati, Kecamatan Angsana, Kabupaten Tanah Bumbu pada Jumat petang, 22 Oktober 2021. Jurkani meninggal sekitar pukul 10.20 Wita pada Rabu, 3 November 2021, setelah 13 hari mendapat perawatan di rumah sakit.