TEMPO.CO, Jakarta - Berdiri sejak 2014, Yayasan Secerah Anak Negeri Jaya atau yang lebih sering disebut Sanggar Senja Cibinong, menaungi anak jalanan dan anak terlantar agar dapat mengenyam pendidikan dan kehidupan yang layak.
Pendiri Yayasan Senja Cibinong, Adi Supriyadi, menceritakan upayanya membuka akses pendidikan bagi anak jalanan tidaklah mudah. Berkali-kali Adi harus bertabrakan dengan urusan administratif dan birokrasi pendidikan yang rumit.
Latar belakang anak jalanan yang tidak jelas dan tidak adanya dokumen identitas kerap kali menjadi persoalan. "Birokrasi kita ini rumit, terlalu banyak syarat. Mereka itu juga menganggap kami ini hina saja. Dituduh mau nyari duit lah, mau bikin organisasi teroris lah, padahal visi misi kami jelas untuk pendidikan," ujar Adi.
Pernyataan itu disampaikan Adi saat bercerita dalam sebuah sesi di program Fellowship Jurnalisme Pendidikan Batch 3 yang digelar Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan bekerja sama dengan Paragon Technology and Innovation, Rabu, 1 Desember 2021.
Yayasan Sanggar Senja lantas didirikan untuk menjadi payung identitas bagi para anak jalanan. Hingga 2018, yayasan telah membebaskan akte kelahiran sekitar 120 anak. Sebagian akte mereka mengatasnamakan anak ibu, sebagian lagi anak negara. Anak-anak jalanan itu, kata Adi, akhirnya bisa dimasukkan ke sekolah swasta.
Hasil itu diraih dengan jalan berliku dan susah payah. Adi harus meyakinkan pemilik yayasan bahwa dia yang akan menjamin penerbitan dokumen kependudukan anak-anak tersebut dan bertanggungjawab sepenuhnya jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. "Saya jaminannya, kalau ada apa-apa, tangkap saya," ujar dia.
Bagi Adi, penolakan demi penolakan sudah menjadi makanan sehari-hari saat mengupayakan akses pendidikan formal bagi anak jalanan. "Saya pernah mendaftarkan anak usia 12 tahun di kelas 1 SD, gurunya bilang, maaf ya nanti jadi menjatuhkan sekolah kami, soalnya sudah tua begini. Sulit memang. Itu kenyataan yang kami hadapi," ujar dia.
Ada sekitar 130-an anak jalanan yang dibina Yayasan Senja Cibinong. Sebanyak 50 orang sudah masuk di sekolah atau pendidikan formal. Sisanya yang sudah putus sekolah diikutkan paket A, B, dan C.
"Ada 22 anak yang tinggal di sanggar ini, sisanya hanya datang untuk belajar, lalu pergi. Jadi ini sanggar sekaligus juga panti. Kami terima semua, kami beri makan. Mereka juga bisa mendalami bidang seni dan budaya di sini," ujar Adi.