TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Bahtsul Masail Maudhu’iyah bakal mengangkat tiga isu dalam Muktamar NU ke-34 di Lampung. Ketiga isu itu adalah pandangan fikih terhadap orang dalam gangguan jiwa, kedaulatan rakyat atas tanah, dan badan hukum.
“Dari pagi kami sudah membahas dan disepakati ada tiga masalah itu yang akan dibahas,” kata Ketua Komisi Bahtsul Masail Maudhu’iyah Abdul Moqsith Ghazali, dalam konpers daring, Jumat, 3 Desember 2021.
Usulan pembahasan ODGJ ini, kata dia, tidak datang secara tiba-tiba. Isu tersebut telah disinggung saat pembicaraan mengenai pandangan fikih Islam terhadap kaum difabel atau disabilitas di dalam Musyawarah Nasional NU 2017 di Nusa Tenggara Barat. Menurut dia, pembahasan masalah ODGJ dianggap penting karena jumlah mereka diperkirakan mencapai 5 juta orang di Indonesia. "Belum lagi ditambah dengan orang yang disebut dengan difabel,” ujarnya.
Selain itu, pembahasan masalah ODGJ dianggap penting sebagai upaya menagih janji pemerintah untuk memberikan jaminan terhadap hak-hak mereka. Salah satunya adalah kewajiban negara yang mesti memberikan garansi obat murah kepada ODGJ. "Bahkan menggratiskan obat kepada ODGJ."
Sedangkan pada pembahasan masalah kedua soal kedaulatan rakyat atas tanah akan diulas mengenai pandangan Islam tentang tanah dan konsep kepemilikannya. Sebabnya, hak warga negara terhadap tanah itu bagian dari washilah atau jembatan untuk terciptanya hak asasi manusia. "Karena tanah itu bukan hanya berfungsi secara ekonomi, tempat kita mencari nafkah, tetapi dia juga berfungsi secara sosial,” ujarnya.
Dalam pandangan Islam, kata dia, tanah berfungsi sebagai tempat untuk beribadah. Bahkan di dalam kitab-kitab fikih disebutkan ju’ilat liyal ardhu masjidan, yang berarti Allah menciptakan tanah untuk tempat bersujud. Namun faktanya saat ini banyak warga negara yang tidak punya tanah sekalipun 1x2 meter persegi.
"Kita penting untuk berbicara ini, di saat ada warga negara lain atau individu lain di dalam satu negara yang memiliki jutaan hektar tanah,” katanya.
Isu terakhir soal badan hukum dianggap perlu dibahas karena di dalam fikih Islam yang disebut sebagai subjek hukum adalah individu, bukan badan hukum. Komisi Bahtsul Masail Maudhu’iyah, kata dia, akan membahas soal badan hukum yang masuk kategori subjek hukum atau tidak.
Misalnya, jika sebuah badan hukum atau organisasi memiliki kekayaan yang sudah sampai satu nishab atau sampai satu tahun, maka dikenakan kewajiban untuk mengeluarkan zakat atau tidak.
"Selama ini zakat dikeluarkan oleh individu-individu sekarang badan hukum itu wajib tidak mengeluarkan zakat? Kalau badan hukum tidak wajib berpuasa Ramadhan, tidak wajib haji, tidak wajib shalat, itu semua kita tahu. Karena kewajiban itu semua basisnya individual,” ucapnya.
Di dalam komisi ini juga akan dibahas soal perbedaan dan persamaan antara badan hukum dengan manusia alamiah. "Bisakah badan hukum menjadi subjek hukum ma’ali dalam pandangan fikih,” ujarnya.
IMAM HAMDI
Baca: Ma'ruf Amin dan JK Diminta Cegah Polarisasi Imbas Tarik Ulur Jadwal Muktamar NU