INFO NASIONAL - Ibu Kota sebagai pusat pemerintahan, bisnis, perdagangan, dan perekonomian berdampak terhadap tingginya aktivitas masyarakat, khususnya pengguna kendaraan bermotor. Penyebab pencemaran udara di DKI Jakarta didominasi oleh transportasi darat, sisanya dari pembangkit listrik, pembakaran domestik, dan industri.
Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta berkolaborasi dengan Vital Strategies melakukan Kajian Inventarisasi Sumber Pencemaran Udara pada 2020 dengan menggunakan data 2018. Data yang digunakan adalah data konsumsi bahan bakar, baik dari sektor transportasi, industri, rumah tangga, energi, dan lainnya.
Hasil kajian tersebut menemukan bahwa kontributor polusi udara di Jakarta adalah dari sektor transportasi darat, terutama untuk NOx (72,4 persen), CO (96,36 persen), PM10 (57,99 persen) dan PM2.5 (67,03 persen). Sedangkan, sektor industri pengolahan menjadi sumber polusi terbesar untuk polutan SO2 serta terbesar kedua untuk NOx, PM10, dan PM2.5.
Dari sampel filter yang menangkap PM2.5 yang dikumpulkan di tiga lokasi, yaitu Kebon Jeruk, Lubang Buaya, dan GBK, disimpulkan bahwa baik pada musim kemarau ataupun pada musim hujan, sumber utama PM2.5 adalah dari emisi kendaraan bermotor, dengan persentase 32-41 persen di musim hujan dan 42-57 persen di musim kemarau.
Dari penelitian tersebut, kendaraan bermotor adalah sektor kunci yang harus diatasi untuk meningkatkan kualitas udara di Jakarta. Apalagi, jumlah kendaraan bermotor terus bertumbuh, dengan rerata pertumbuhannya sejak 2012 lebih dari 5 persen. Pada 2012, kendaraan roda dua di DKI Jakarta (baik dari Jakarta maupun dari daerah penyangga) sebanyak 10,8 juta unit, dan 2,7 juta unit roda 4. Pada 2018, jumlah kendaraan bermotor roda 2 melonjak menjadi 21 juta unit dan roda 4 naik menjadi 9 juta unit. Kini, volume kendaraan bermotor yang melintas di DKI Jakarta tentu semakin bertambah.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Asep Kuswanto, menjelaskan Pemprov DKI Jakarta akan terus berinovasi untuk meminimalisir dampak negatif dari pertumbuhan pembangunan di Ibu Kota, khususnya menekan peningkatan emisi karbon. Menurutnya, sumber emisi karbon terbesar di DKI Jakarta berasal dari transportasi darat seiring terus bertambahnya jumlah kendaraan bermotor.
Berbagai program untuk penurunan emisi telah dijalankan, seperti memperbaiki dan menambah fasilitas pejalan kaki, memperbanyak jalur khusus dan fasilitas parkir sepeda, mendorong penggunaan mobil dan sepeda motor listrik, serta mendorong pemilik kendaraan pribadi beralih moda transportasi publik. Berikutnya, memberikan disinsentif tarif parkir pada lokasi parkir milik Pemprov DKI Jakarta, pemberlakuan uji emisi untuk kendaraan berusia lebih dari 3 tahun, penggunaan bus listrik Transjakarta, MRT, LRT, penghijauan sarana dan prasarana publik, serta mengadopsi energi baru dan terbarukan yang lebih ramah lingkungan.
Sementara itu, Indonesia juga telah berkomitmen pada Paris Agreement yang ditandatangani pada 22 April 2016 di New York, Amerika Serikat, sekaligus menyatakan kesediaannya untuk meratifikasi Paris Agreeement dengan besaran emisi gas rumah kaca 0,554 Gt CO2eq setara dengan 1,49 persen total emisi global. Indonesia berkomitmen melalui Nationally Determined Contribution (NDC) untuk menurunkan emisi sebesar 29 persen di bawah upaya apapun atau business as usual (BAU) pada 2030 dan dapat dinaikkan sampai 41 persen dengan kerja sama internasional.
Di sisi lain, industri otomotif perlu melakukan inovasi teknologi dengan menghadirkan produk otomotif yang hemat bahan bakar dan ramah lingkungan. Perusahaan penyedia BBM juga perlu melakukan inovasi teknologi dengan menghadirkan produk BBM yang ramah lingkungan dengan harga yang terjangkau.
Penyakit Tidak Menular
Prof. Budi Haryanto, pakar Kesehatan Lingkungan Universitas Indonesia, sering menyampaikan hasil risetnya bahwa kontribusi terbesar dari dampak polusi udara adalah kesehatan manusia, yaitu 60 persen, 28 persen berdampak terhadap perubahan iklim, dan 12 persen berdampak terhadap lainnya. “Fakta bahwa asma dan ganguan fungsi paru-paru telah terjadi pada kita semua akibat PM2.5,” ujarnya.
Menurut Prof. Budi, polusi udara, terutama dari PM2.5 menyebabkan berbagai penyakit tidak menular seperti kanker, kardiovaskular, penyakit pernapasan, diabetes melitus, jantung, penyakit paru obstruksi kronis, dan lainnya.
Dia menyarankan, penurunan emisi karbon dapat dilakukan melalui pengendalian jumlah kendaraan bermotor, perbaikan kualitas bahan bakar atau penggunaan energi bersih, penggunaan teknologi kendaraan bermotor yang lebih hemat bahan bakar dan ramah lingkungan, serta manajemen transportasi terintegrasi.
Uji Emisi
Untuk menekan dampak terhadap penyakit tidak menular yang membahayakan warga akibat polusi udara, Pemprov DKI Jakarta segera mewajibkan uji emisi bagi kendaraan yang berusia di atas 3 tahun.
Uji emisi kendaraan roda dua dan roda empat diatur dalam Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 66 Tahun 2020 tentang Uji Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor. Uji emisi merupakan pengujian pada kendaraan bermotor untuk meminimalisasi gas rumah kaca dan udara berbahaya dari mesin kendaraan bermotor.
Selanjutnya, Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta akan memberikan sertifikat lulus uji emisi bagi pemilik kendaraan yang telah melaksanakan uji emisi melalui sistem database online yang bisa diakses bersama. Masa berlaku uji emisi ini setahun setelah dokumen atau bukti hasil uji emisi diterbitkan.
Pemprov DKI Jakarta terus berkoordinasi dengan Polda Metro Jaya melakukan sosialisasi pentingnya uji emisi bagi kualitas udara dan kesehatan masyarakat di DKI Jakarta. Untuk saat ini, Pemprov DKI Jakarta dan Polda Metro Jaya sepakat menunda penerapan sanksi tilang terhadap kelayakan emisi gas buang kendaraan di Ibu Kota yang semula direncanakan per 13 November 2021. Kendati demikian, masyarakat tetap diimbau segera melakukan uji emisi. Saat ini, terdapat 15 titik lokasi uji emisi untuk sepeda motor dan 257 titik untuk mobil yang tersebar di 5 wilayah Kota Administrasi.
Kolaborasi antara jajaran Pemprov DKI Jakarta dan warga menjadi kunci dalam peningkatan kualitas udara di Ibu Kota. Tentunya, perubahan pola gaya hidup (behaviour) seluruh masyarakat di DKI Jakarta menuju energi ramah lingkungan (listrik) dan keberlanjutan akan berdampak positif terhadap peningkatan kualitas udara. Akhirnya, Jakarta menjadi kota yang nyaman bagi semua dan tingkat kebahagiaan serta kesehatan warganya terus meningkat.(*)