TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, menilai Mahkamah Konstitusi mengambil politik jalan tengah dalam putusan tentang Undang-Undang atau UU Cipta Kerja.
Dugaan Bivitri itu berangkat dari adanya 4 hakim yang memiliki pendapat berbeda. “Putusan ini memang ‘jalan tengah’,” kata Bivitri lewat keterangan tertulis, Kamis, 25 November 2021.
Bivitri mengatakan jalan tengah yang diambil itu membuat bingung. Putusan MK, kata dia, menyatakan bahwa proses legislasi pembentukan UU Cipta Kerja inkonstitusional. Bila demikian, kata dia, seharusnya produk yang dihasilkan dari proses itu juga inkontstitusional. “Sehingga dianggap tidak berlaku,” kata dia.
Tetapi, kata Bivitri, putusan MK justru membedakan antara proses dengan hasil. “Sehingga yang dinyatakan inkonstitusional hanya prosesnya, tetapi UU-nya tetap konstitusional dan berlaku,” kata pengajar Sekolah Tinggi Hukum Jentera ini.
Bivitri melanjutkan putusan MK yang mengabulkan gugatan formil ini pertama dalam sejarah. Dia bilang tak mungkin MK bisa menolak lagi permohonan uji formil omnibus law Cipta Kerja, karena cacat formil yang didalilkan para pemohon sangat nyata dan sederhana.
Namun di sisi lain, kata dia, MK juga masih melakukan pertimbangan politik, tidak hanya hukum. Karena itu, Bivitri mengatakan jalan keluarnya adalah putusan MK yang membingungkan itu. Bivitri mengatakan putusan tersebut adalah conditionally unconstitusional atau putusan inkonstitusional bersyarat selama 2 tahun.
Bivitri menuturkan putusan MK soal Cipta Kerja ini bukan kemenangan pemohon. UU Cipta Kerja tetap berlaku dua tahun lagi. Meski demikian, dia menilai masyarakat masih bisa bernafas karena dengan adanya putusan ini, pemerintah belum bisa lagi membuat peraturan pelaksana dalam dua tahun ke depan. ”Tetapi ini pun berarti, peraturan pelaksana yang sudah ada dan penuh kritik, tetap berlaku,” kata dia.
Baca juga: UU Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat, Aturan Pelaksana Tetap Berlaku