Saat pengasingan ini, Ia aktif dalam organisasi pelajar asal Indonesia, Indische Vereening, bahkan sempat menjadi redaktur di majalah Hindia Putera. Juga kerap mengirimkan karangannya untuk koran Oetoesan Hindia yang merupakan media propaganda organisasi politik.
Disaat berstatus orang buangan jauh dari tanah kelahiran, Ki Hadjar Dewantara belajar ilmu pendidikan hingga meraih Europeesche Akte alias Ijazah pendidikan yang bergengsi.
Pepatah yang diciptakannya dalam bahasa Jawa menggambarkan harapan dan cita-cita Ki Hadjar Dewantara yang menjadi prinsip Taman Siswa. Pepatah terkenal itu berbunyi “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” bila diterjemahkan sebagai (bagi yang) di depan harus memberi contoh, (untuk yang) di tengah harus membangkitkan semangat, dan (bagi yang) di belakang harus memberi semangat.
Sebuah jurnal Semangat Taman Siswa dan Perlawanannya terhadap Undang-Undang Sekolah Liar (1994) menyebutkan lahirnya Taman Siswa membuat gusar pemerintah Hindia Belanda.
Bahkan Belanda menerbitkan Wilde Scholen Ordonantie, sebuah undang-undang yang guna membatasi perkembangan pendidikan alternatif Indonesia. Dimana setelah UU ini berlaku, seluruh kegiatan Taman Siswa ditutup dan dibatasi ruang gerak pengajarnya. Namun semangat tak pudar. Guru-guru dan murid di Taman Siswa bersembunyi-sembunyi melanjutkan proses pendidikan.
Ki Hadjar Dewantara menjadi Menteri Pengajaran Indonesia pertama dari 19 Agustus hingga 14 November 1945. Serta mendapat gelar doktoral kehormatan dari Universitas Gadjah Mada pada 1957. Ditetapkan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 305 tahun 1959, 28 November di tahun yang sama. Tanggal lahirnya juga ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Hanya beberapa bulan sebelumnya, 26 April 1959, Ki Hajar Dewantara menutup usia pada 69 tahun di Yogyakarta. Bapak pendidikan ini selalu dikenang saat Hari Guru Nasional.
RAHMAT AMIN SIREGAR
Baca juga: Nadiem Makarim Ajak Masyarakat Hidupkan Pemikiran Ki Hajar Dewantara