TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengkritik terbitnya Surat Telegram Panglima TNI Nomor ST/1221/2021 mengenai prosedur pemanggilan prajurit TNI oleh aparat penegak hukum.
Surat Telegram ini diteken oleh Kepala Staf Umum (Kasum) TNI Letnan Jenderal TNI Eko Margiyono tertanggal 5 November 2021.
Dalam aturan baru, pemanggilan prajurit TNI yang tersandung permasalahan hukum oleh kepolisian harus melalui komandan atau kepala satuan.
"Surat Telegram Panglima semakin menunjukkan ketertutupan dan upaya perlindungan bagi anggota TNI yang melakukan tindak kejahatan (impunitas)," ujar Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Teo Reffelsen sebagai perwakilan koalisi lewat keterangan tertulis, Rabu, 24 November 2021.
Koalisi melihat penerbitan surat telegram panglima ini tidak hanya bermasalah, tetapi semakin menunjukkan adanya dominasi militer terhadap negara.
Koalisi mencatat, saat ini telah terjadi perluasan peran TNI di ranah sipil. Misalnya, kata dia, dibentuknya Jaksa Agung Muda Pidana Militer (Jampidmil) di Kejaksaan Agung yang dipimpin militer aktif, penempatan TNI aktif sebagai staf khusus di Kemenparekraf, perluasan peran TNI dalam penegakan hukum tindak pidana terorisme di dalam negeri, dan diterapkannya sistem peradilan militer bagi sipil dalam UU Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN).
"Pada titik ini, Surat Telegram Panglima yang mengatur proses pemanggilan anggota TNI harus melalui persetujuan atasan sejatinya tidak hanya mengatur internal anggota TNI, tetapi hal tersebut juga menuntut institusi penegak hukum di luar TNI untuk tunduk dan patuh terhadap ST Panglima tersebut," ujar Teo.
Menurut Teo, surat telegram ini semakin menempatkan hukum bagi militer berbeda dengan sipil. "Padahal, TAP/MPR Nomor VII Tahun 2000 telah memerintahkan anggota TNI tunduk pada sistem peradilan umum apabila melakukan tindak pidana umum," tuturnya.
Peneliti Imparsial Hussein Ahmad mengatakan aturan mengenai pemanggilan prajurit yang harus atas izin komandan merupakan bentuk pembangkangan terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dalam KUHAP diatur secara eksplisit bahwa pemanggilan hanya ditujukan kepada pihak yang bersangkutan dengan perkara dugaan tindak pidana, dan bukan atasan dari subyek hukum yang dipanggil.
Sehingga jika surat pemanggilan tersebut dikirimkan atau harus mendapatkan izin dari komandan, kata Hussein, maka pemanggilan tersebut menjadi cacat formil atau tidak sah.
"Hal Ini justru mencerminkan ketiadaan komitmen dalam upaya mengatasi/mencegah terjadinya impunitas bagi prajurit TNI dan dapat menghalangi proses hukum yang dilakukan oleh Kepolisian, serta manifestasi pelanggaran asas persamaan dimuka hukum (equality before the law)," ujarnya.
Baca juga: KPK Hormati Aturan Pemanggilan Anggota TNI