TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mempertanyakan landasan hukum Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Dudung Abdurachman tentang radikalisme. Menurut koalisi, peran TNI dalam pemberantasan terorisme tidak memiliki landasan hukum.
“Pelibatan TNI AD dalam mengatasi radikalisme menjadi tanda tanya terkait landasan hukumnya,” kata perwakilan koalisi dari LBH Jakarta Teo Reffelsen, Rabu, 24 November 2021. Selain LBH Jakarta, organisasi yang tergabung dalam koalisi ini adalah Imparsial, Setara Institute dan PBHI.
Teo mengatakan soal radikalisme tidak termasuk dalam 14 kategori Operasi Militer Selain Perang (OMSP) seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI pada Pasal 7 ayat (2) huruf b.
Rencana keterlibatan itu, kata dia, berpotensi memunculkan pelanggaran HAM, bila melihat model pendekatan prajurit yang selama ini dilakukan. Pendekatan keamanan, kata dia, justru membuka ruang represifitas dari aparat.
“Karena akan lebih mengutamakan stabilitas dibandingkan upaya-upaya dialogis. Upaya mengatasi radikalisme, termasuk didalamnya intoleransi,” kata dia.
Menurut Teo, masalah radikalisme sebaiknya tetap menjadi tugas lembaga seperti Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Kementerian Agama, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), serta aparat Kepolisian jika sudah berhubungan dengan tindak pidana.
Sebelumnya, Dudung Abdurachman dalam salah satu wawancara dengan televisi swasta mengatakan ingin mengerahkan Babinsa untuk mendeteksi mengenai perkembangan kelompok ekstremis. Dia mengatakan akan memberlakukan sistem seperti zaman Presiden Soeharto, yaitu Babinsa mengumpulkan informasi dan mengambil tindakan terhadap kelompok tersebut.