TEMPO.CO, Jakarta - Tidak sedikit profesional dan akademisi Indonesia yang mumpuni di luar negeri. Namun, potensi diaspora itu selama ini dinilai kurang dimanfaatkan dalam peningkatan daya saing Indonesia di kancah global. Kolaborasi yang berkelanjutan antara ilmuwan diaspora dan ilmuwan di dalam negeri belum terbangun.
"Saya masih merasakan adanya gap antara rekan-rekan ilmuwan diaspora dan ilmuwan di dalam negeri," ujar Ketua Umum Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4), Muhammad Aziz, saat menjadi pembicara dalam program Fellowship Jurnalisme Pendidikan Batch 3 yang digelar Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP) bekerja sama dengan Paragon Technology and Innovation, Selasa, 23 November 2021.
Menurut Aziz, sebetulnya banyak ilmuwan di dalam negeri yang ingin membangun kerja sama dengan pihak luar, namun mereka tidak memiliki jejaring atau networking. Begitu pula diaspora di luar negeri, tidak memiliki akses dan jejaring relasi saat ingin membangun kerja sama dengan di Indonesia.
Kehadiran I-4 ini diharapkan menjadi wadah bersama untuk mengoptimalkan kerja sama timbal-balik dan memperkuat sinergitas antara ilmuwan diaspora dan ilmuwan Indonesia. Ada delapan kawasan yang dikelola I-4, yakni; AS dan Kanada, Asia Timur, Asia Tenggara, Eropa, Australia, Time Tengah dan Afrika, Inggris, dan Indonesia. Pengelolaan tersebut kemudian dikelompokkan lagi berdasarkan 14 koordinator klaster ilmu pengetahuan.
Associate Professor di The University of Tokyo itu menyebut, kerja sama yang terbangun antara pemerintah dan ilmuwan diaspora selama ini masih sebatas Memorandum of Understanding (MoU) untuk proyek-proyek tertentu. Padahal, ujar Aziz, seharusnya yang dibangun adalah kolaborasi berkelanjutan, sehingga bisa tercipta co-creation yang ujungnya akan berdampak pada nilai tambah ekonomi negara.
"Seperti di Cina itu, ada mutual networking yang kuat antara diaspora dengan ilmuwan di Cina, makanya mereka bisa menjadi gurita yang sangat besar," ujar Aziz.
Untuk itu, kata dia, ke depan diperlukan kolaborasi bersama dalam meningkatkan kapasitas riset dan teknologi serta upaya menciptakan identitas riset yang kuat. "Ini misalnya kita punya target zero carbon pada 2060, tapi kita tidak pernah mendiskusikan bagaimana cara merealisasikannya, road map saja tidak punya," ujar dia.
Pemerintah dinilai perlu menyiapkan grand design untuk pengembangan ristek. Penguatan peran diaspora dapat dilakukan dengan pemetaan dan pemberdayaan diaspora. Dengan demikian, transfer ilmu pengetahuan dan teknologi, serta peranan agensi dalam diplomasi ekonomi yang merupakan potensi diaspora bisa dikembangkan.
Staf ahli bidang sosial budaya dan pemberdayaan Masyarakat Indonesia di Luar Negeri (MILN), Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Siti Nugraha Maulidiah, mengatakan pemerintah telah menyiapkan tahapan rancangan pemetaan dan pendataan MILN.
"Pemetaan dan pemberdayaan diaspora akan dapat dilakukan dengan optimal apabila data diaspora telah tersedia dengan akurat,” tutur Siti dalam acara
Webinar nasional bertajuk “Strategi Penguatan Peran Ekonomi Diaspora Indonesia”, Selasa, 16 November 2021.
Data ilmuwan diaspora tersebut nantinya yang akan diintegrasikan ke dalam basis data talenta nasional. "Manajemen talenta nasional adalah upaya untuk melakukan pendataan, pemetaan dan pembangunan SDM Indonesia,” tuturnya.
Baca juga: Daftar Top 2 Persen Ilmuwan Paling Berpengaruh di Dunia, Ada ITB dan UI