INFO NASIONAL – Banyak program pemerintah yang membutuhkan bantuan organisasi kemasyarakatan(Ormas) sehingga lebih cepat mencapai tujuan. Pelibatan ormas dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa.
Perpres 16/2018 telah disempurnakan melalui Perpes 12/2021 yang lebih memudahkan pelibatan ormas dalam program pembangunan. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) kemudian mengeluarkan Peraturan LKPP 3/2021 tentang Pedoman Swakelola yang menjabarkan lebih detail tentang persyaratan swakelola.
Sebelum lahirnyaPerpres 16/2018 tersebut muncul, pelibatan ormas dalam pengadaan barang danjasa pemerintah belum mempunyai payung hukum yang jelas. Jika sebuah badan dalam pemerintahan ingin melibatkan ormas untuk menjalankan program, hanya bisa menggunakan aturan Swakelola Tipe I dimana perwakilan ormas dikontrak sebagai konsultan individual. Berkat Perpres 16/2018, pelibatan ormas secara kelembagaan dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah dimungkinkan melalui mekanisme Swakelola Tipe III.
Pengadaan barang dan jasa dengan mekanisme Swakelola Tipe III diatur dalam suatu kontrak kerja antara pemerintah dengan ormas, yang mana ormas harus menyediakan barang atau jasa sesuai kontrak tersebut.
Dalam Perpres 16/2018, LKPP memasukkan penelitian menjadi bagian pengadaan khusus.“Kami sangat mendorong adanya inovasi penelitian atau riset, karena hal itu akan memberi dampak dan manfaat luar biasa untuk kita semua,” kata Plt. Kepala LKPP Sarah Sadiqa saat menjadi panelis dalam diskusi virtual KSIxChange#37 yang mengusung tema “Dimensi Baru Kemitraan antara Pemerintah dan Organisasi Kemasyarakatan: Pembelajaran dari Swakelola Tipe III”, Selasa, 26 Oktober 2021.
Sarah menjelaskan, sejak pemberlakuan Perpres 16/2018, LKPP mencatat kegiatan yang sering dilakukan melalui Swakelola Tipe III meliputi bidang riset, pengkajian, sektor pendidikan/edukasi, pemberdayaan masyarakat, dan pendampingan.
Kementerian Sosial telah merasakan manfaat Swakelola Tipe III dalam menjalin kerja sama dengan The SMERU Research Institute (SMERU) untuk menyusun indeks kesejahteraan sosial sejak2020. Berkat bantuan SMERU, rencana kerja penyusunan indeks yang sempat mangkrak, akhirnya dapat dilaksanakan.
Awalnya, di 2019 Kemensos mencoba menyusun sendiri indeks tersebut dengan mengundang para pakar terkait, namun menemui jalan buntu. Kemensos menyadari penyusunan indeks tersebut memerlukan tenaga ahli yang berpengalaman.Setelah melalui beberapa tahapan diskusi, akhirnya diputuskan menggunakan jasa SMERU yang berpengalaman melakukan penelitian dan kebijakan publik, demikiandiungkapkan
“Kami akhirnya memilih memakai Swakelola Tipe III. Walau mekanismenya baru, kami harus memilih itu. Di pertengahan 2020 kami revisi anggaran agar bisa menyewa lembaga yang tepat dan setelah itu dengan cepat kami dapat menyusun indeks,” kata SantiNurhayati, Praktisi Pengadaan Pengadaan Barang dan Jasa Kemensos.
Direktur Operasional dan Keuangan, SMERU Hesti Marsono mengaku sangat terbantu dengan munculnya Swakelola Tipe III. Sebelum Perpres 16/2018, organisasinya sering bekerja sama dengan pemerintah melalui Swakelola Tipe I yang hanya memungkinkan sewa jasa secara individu sebagai tenaga ahli. “Sejak mengetahui Swakelola Tipe III kami sangat menyambut baik, karena melihat peluang lebih besar untuk kerja sama dengan mitra pemerintah secara langsung,” ujarnya.
Kendati demikian, belum semua kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah yang mengetahui dan memahami potensiSwakelola Tipe III. Masalah ini menurut Hesti menjadi tantangan besar karena lembaganya kadangkala harus meyakinkan agar mereka mau beralih dari kebiasaan lama dan memakai sistem baru tersebut. Di sisi sebaliknya, banyak juga ormas yang belum mengetahui keberadaan Swakelola Tipe III.
“Mekanisme ini masih baru, sehingga ada tantangan dan keraguan terkait apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan,” kata Peneliti SOLIDARITAS, Emma Piper. Karena itu, ia merekomendasikan agar sosialisasi di lingkungan kementerian/lembaga hingga pemerintah daerah dilakukan lebih gencar. Setelah, itu, pihak pemerintah juga perlu mengidentifikasi jenis pekerjaan atau proyek yang cocok dilakukan dengan Swakelola Tipe III, seraya memetakan ormas-ormas yang memenuhi persyaratan untuk menjalankan pekerjaan tersebut.
Rekomendasi untuk ormas, lanjut Emma, yakni harus melakuka nrefleksi apakah organisasinya dapat menyediakankebutuhan pemerintah akan keahlian tertentu, yang dapat dilaksanakan dengan Swakelola Tipe III. “Ormas juga sebaiknya berperan aktif untuk menjajaki peluang kerja sama dengan pemerintah, bila perlu minta dukungan LKPP,” ujar Emma.
Rekomendasi ini disepakati seluruh panelis dalam diskusi KSIxChange#37 itu. Sarah dan Santi mewakili pemerintah, serta Hesti mewakili ormas, juga setuju untuk mulai mendata ormas-ormas yang memiliki keahlian sesuai bidangnya.Upaya pengembangan database ormas yang memenuhi syarat menjadi pelaksanaSwakelola Tipe III sedang dilakukan oleh Konsorsium LinkLSM.
Diskusi KSIxChange#37 merupakan rangkaian webinar yang digagas oleh Knowledge Sector Initiative (KSI). Program KSI merupakan kerja sama antara pemerintah Australia dengan pemerintah Indonesia. KSI bertujuan untuk mengatasi berbagai kendala mendasar yang menghambat sektor pengetahuan di Indonesia, dan mendorong penyediaan dan penggunaan bukti berkualitas dalam penyusunan kebijakan. (*)