TEMPO.CO, Jakarta - Transparency International Indonesia menilai anggaran sektor pertahanan tak seharusnya dilakukan secara tertutup dengan alasan keamanan nasional. Kerahasiaan tersebut dianggap menjadi “jubah pelindung” dalam melanggengkan praktik korupsi.
Peneliti Transparency International Indonesia, Alvin Nicola telah memaparkan hasil Indeks Integritas Pertahanan Pemerintah atau Government Defense Integrity Index (GDI) 2020, dimana Indonesia menempati peringkat ke-34 dari 86 negara, serta memperoleh skor 47 dari 100 (Nilai Keseluruhan D).
"Salah satu alasan rendahnya skor indeks yang diperoleh dikarenakan kurangnya keterbukaan informasi seputar anggaran dari sektor pertahanan," ujarnya dalam diskusi daring pada Senin, 22 November 2021.
Padahal, menurut Alvin, dari penilaian indeks tersebut dapat teridentifikasi bahwa keterbukaan informasi anggaran merupakan salah satu prasyarat penting terciptanya tata kelola sektor pertahanan yang efisien dan efektif.
“(Keterbukaan informasi) itu sangat penting, karena kita berada pada situasi dimana elit-elit politik sudah berkonsolidasi. Lalu, akhir-akhir ini terus (terjadi) penguatan ikatan bisnis di militer, dan (terjadi) juga pendekatan militer yang semakin eksesif untuk mengontrol ruang-ruang sipil,” ujar Alvin.
Dengan begitu, Alvin berkata, keberadaan dokumen anggaran merupakan satu-satunya jalan bagi rakyat untuk mengontrol kebijakan pertahanan. “Jadi tanpa (keterbukaan dokumen) itu, sangat sulit sebenarnya untuk melakukan pengawasan,” tambahnya.
Selain itu, ia juga mengatakan bahwa logika terkait kerahasiaan anggaran muncul dari zaman saat terjadinya peperangan di masa lalu. Karena itu, menurutnya hal tersebut sudah tidak lagi relevan.
Bahkan, Alvin menyebut bahwa negara-negara yang memperoleh Indeks Integritas Pertahanan Pemerintah atau GDI dengan skor tinggi justru tidak menutupi anggaran pertahanan negaranya.
“Justru, indeks dari 86 negara ini menunjukkan bahwa negara-negara yang punya integritas pertahanan yang bagus, seperti Selandia Baru dan Inggris, (mereka memiliki) mekanisme keterbukaan informasinya (yang) juga justru progresif sekali,” ujar Alvin.
Atas dasar tersebut, Alvin mengatakan bahwa pemerintah tak seharusnya khawatir untuk membuka anggaran pertahanan secara terang-terangan ke publik. “Karena saya rasa, secara alamiah, jika keterbukaan anggaran informasi itu beranjak baik, mekanisme akuntabilitasnya (juga) akan terus berjalan mengikuti,” ujarnya.
AQSHAL RAIHAN BUDIPUTRA | MAGANG
Baca: Kementerian Pertahanan Dapat Anggaran Terbesar di 2022, Nilainya Rp 134 Triliun