TEMPO.CO, Jakarta - Belum lama setelah kasus pelecehan seksual yang dialami oleh pegawai Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI merebak ke publik, kasus yang hampir serupa juga kembali terjadi di lingkungan kampus. Seorang mahasiswi Universitas Riau mengaku mendapat perlakuan pelecehan seksual oleh dosennya saat melakukan bimbingan skripsi.
Tidak banyak orang yang menyadari terkadang tindakan yang mereka lakukan atau mereka yang mendapatkan perlakuan, yang mengarah kepada pelecehan seksual. Padahal ada banyak ragam kejahatan seksual yang termasuk ke dalam pelecehan, yaitu pemerkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, penyiksaan seksual, perbudakan seksual, intimidasi, ancaman dan percobaan perkosaan, prostitusi paksa, dan masih banyak lagi.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP, istilah pelecehan seksual memang tidak dikenal, tindakan tersebut dalam undang-undang disebut sebagai perbuatan cabul. Perbuatan cabul dalam KUHP diatur dalam Buku Kedua tentang Kejahatan, Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan Pasal 281 sampai Pasal 303. Perbuatan cabul diartikan sebagai segala perbuatan yang dianggap melanggar kesopanan/kesusilaan dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul.
Melansir dari laman heylaw.edu, contoh perbuatan cabul misalnya perbuatan cabul yang dilakukan laki-laki atau perempuan yang telah kawin (Pasal 284), Perkosaan (Pasal 285), atau membujuk berbuat cabul orang yang masih belum dewasa (Pasal 293). Pelecehan seksual di Indonesia dapat dijerat dengan pasal percabulan yakni Pasal 289 hingga Pasal 296 KUHP dengan hukuman paling lama 5 tahun penjara.
Namun apakah cukup hanya dipenjara? Indonesia Judicial Research Society atau IJRS bersama International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) melakukan survei pada 2020, dari seluruh responden yang disurvei, kebanyakan sepakat untuk memberikan hukuman pidana berat selama 10 hingga 15 tahun penjara bagi pelaku kekerasan seksual juga pelecehan seksual. Selain itu, mayoritas responden juga setuju untuk memberikan hukuman tambahan selain penjara seperti denda atau mekanisme ganti rugi lainnya.
Di sisi lain, 31.7 persen responden menilai bahwa pelaku harus diberikan rehabilitasi atas apa yang ia lakukan. Melalui data tersebut, maka solusi pemidanaan bagi pelaku kekerasan seksual dapat bervariatif dan tidak fokus pada penjara saja, tetapi juga pada pemulihan ekonomi maupun psikologis. Hal ini dapat menjadi perhatian bagi pemangku kebijakan untuk mendorong studi lanjutan untuk pedoman pemidanaan pada kasus kekerasan seksual atau pelecehan seksual dengan semangat kepentingan korban.
HENDRIK KHOIRUL MUHID
Baca: Hati-hati Tindakan yang Bisa Masuk Kategori Pelecehan Seksual
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.