TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menuai kritik setelah menyinggung soal pembangunan di era Presiden Joko Widodo tak boleh berhenti atas nama emisi karbon.
Melalui akun Twitter resminya pada Rabu, 3 November, Siti berkata, "Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi."
Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi.
— Siti Nurbaya Bakar (@SitiNurbayaLHK) November 3, 2021
Twitt ini akhirnya menuai protes dari masyarakat. Berikut beberapa kritik koalisi masyarakat terhadap cuitan Menteri Lingkungan Hidup.
1. Diingatkan Punya Waktu sampai 2030
Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Nadia Hadad mengatakan bahwa tidak harus memilih antara pembangunan dan menghentikan deforestasi.
“Konsep pembangunan berkelanjutan mengedepankan pembangunan yang tanpa merusak lingkungan, termasuk hutan dan lahan. Keduanya bisa tetap dijalankan,” kaat Nadia kepada Tempo, Kamis, 4 November 2021.
Nadia mengatakan, dalam UUD 1945 terdapat hak konstitusional warga untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik. Apalagi di masa menghadapi krisis, nasib kesejahteraan bangsa dipertaruhkan jika tindakan-tindakan konkrit dalam mitigasi dan adaptasi untuk megurangi dampak perubahan iklim. “Kita cuma punya waktu sampai 2030 untuk membuat tindakan nyata,” kata dia.
Karena itu, Nadia menyarankan agar Presiden Jokowi tegas mengeluarkan kebijakan pembangunan yang konsisten dengan agenda Forestry and Other Land Uses (FoLU) Net Sink 2030, juga janji untuk mengakhiri dan membalikkan deforestasi dan degradasi lahan.
2. Dinilai Bertolak Belakang dengan Komitmen mengakhiri Deforestasi
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, M Iqbal Damanik, menilai cuitan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya bertolak belakang dengan komitmen Indonesia mengakhiri deforestasi sampai 2030.
“Bertolak belakang dengan apa yang disampaikan menteri di tweet-nya itu bahwa deforestasi tidak akan menghentikan pembangunan besar-besaran di era Pak Presiden,” kata Iqbal kepada Tempo, Kamis, 4 November 2021.
Iqbal menyoroti cuitan Siti yang mencontohkan bahwa jika diberlakukan zero deforestasi, maka tidak boleh ada jalan di kawasan Kalimantan dan Sumatera. Ia menilai, cuitan tersebut seakan-akan membenturkan dua kepentingan bagi pembangunan yang ada di remote area atau wilayah terpencil.
Menurut Iqbal, jika pembangunan yang dimaksud adalah membangun infrastruktur jalan di wilayah terpencil sebagai aksesibilitas masyarakat yang tinggal di sana, maka tidak masalah. "Yang dikritik masyarakat sipil selama ini adalah deforestasi yang terjadi dalam skala besar yang didorong oleh mekanisme perindustrian, seperti hutan tanaman industri (HTI),” ujarnya.
3. Dinilai Pro Pembangunan Skala Besar
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengkritik pernyataan Menteri Lingkungan Hidup (LHK) Siti Nurbaya yang pro pembangunan skala jumbo.
“Dia (Siti) mau bicara soal carbon sink, tapi kenapa ngomong pembangunan besar-besaran. Kan pembangunan yang dimaksud bukan hanya soal proyek yang besar. Cara pandang kita soal pembangunan harusnya beda,” ujar Manajer Kampanye Keadilan Iklim Walhi Yuyun Harmono saat dihubungi Tempo pada Kamis, 4 November 2021.
Walhi menilai pembangunan skala besar berpotensi merusak lingkungan hidup. Artinya, pernyataan Siti soal pembangunan jumbo bertentangan dengan peran Kementerian LHK yang semestinya melindungi wilayah hijau.
Yuyun berujar, sejalan dengan cita-cita Indonesia untuk mencapai tahun emas pada 2045, pola pembangunan negara harus merujuk pada pengembangan sumber daya manusia, pemenuhan infrastruktur dasar, dan kualitas lingkungan hidup. Pembangunan dalam skala besar yang merusak ekosistem lingkungan justru dinilai salah kaprah.
4. Dinilai Sesat Berpikir
Wakil Sekretaris Jenderal PartaiDemokrat Irwan Fecho menilai pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya soal deforestasi adalah kesesatan berpikir.
“Logikanya rusak kalau sudah seperti itu. Bu Menteri harus cabut pernyataannya. Malu kita di tengah komitmen dunia menjaga bumi dan fokus masyarakat dunia bicara environmental ethics,” kata Irwan dalam keterangannya, Kamis, 4 November 2021.
Irwan mengatakan, komitmen dunia melalui Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim atau COP ke-26 di Glasgow, Skotlandia, untuk menghentikan penggundulan hutan (deforestasi) dan kerusakan lahan pada 2030 harusnya disambut baik pemerintah Indonesia. Sehingga, sebelum 2030, pemerintah sudah bisa moratorium segala izin usaha pemanfaatan hasil hutan, izin pinjam pakai, juga perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan.