INFO NASIONAL – Korea Selatan dengan Pendapatan Domestik Bruto 1,6 triliun dolar AS pada 2020 mencapai kemakmuran ekonomi berkat campur tangan pemerintah. Pertumbuhan yang luar biasa ini mendapat julukan “The Miracle of Han River” karena berhasil bertransformasi dari bangsa agraris menjadi negara industri.
Transformasi negara dikisahkan oleh Prof. Dr. Ki-Seok Kwon dari Department of Public Policy - Hanbat National University dalam Seri II STI Policy Lecture Series 2021 yang diinasi Knowledge Sector Initiative (KSI) Selasa, 27 Oktober 2021.
Mengusung topik “Kebijakan Iptek & Inovasi serta Praktiknya di Korsel” dan “Kebijakan Iptek & Inovasi dan pembangunan nasional”, kuliah umum ini diharapkan menjadi pembelajaran penting bagi Indonesia untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi (iptekin) dalam membangun bangsa.
Menurut Kwon, Iptekin atau Science-Technology-Innovation (STI) Policy berperan besar mengubah wajah Korsel yang hancur akibat Perang Dunia II. Pada tahun 1950-an negara itu jatuh ke dalam keterpurukan. Namun, pemerintah menyadari masih ada modal besar yang dapat diolah, yakni human capital atau sumber daya manusia (SDM). “Kebijakan SDM dasar yang sangat penting dalam sistem inovasi di Korea Selatan,” ujar Kwon.
Pemerintah mendorong potensi SDM ini untuk mengembangkan iptekin melalui perbaikan sistem pendidikan. Dalam waktu 30 tahun, jumlah peserta didik di perguruan tinggi meningkat drastis . “Dan pada 1990-an ada program pembiayaan untuk universitas. Para dosen, profesor, dan tenaga pendidik didorong untuk melakukan penelitian dan menerbitkannya dalam jurnal-jurnal internasional,” katanya.
Pemerintah mendirikan perusahaan publik untuk memenuhi kebutuhan hajat hidup banyak orang yang membutuhkan modal besar-besaran. Di bidang riset dan pengembangan teknologi, Korsel menganggarkan lebih banyak dana dibandingkan beberapa negara maju lainnya. “Bahkan banyak kementerian yang terlibat dalam program R&D (riset dan pengembangan),” ujar Kwon.
Keberanian pemerintah Korsel menjalankan kebijakan tidak populis menuai kemajuan bombastis untuk negara tersebut. Pemerintah juga mendorong munculnya pengusaha mengembangkan iptekin, hingga muncul para konglomerat yang dikenal dengan sebutan “chaebol”, pendiri perusahaan-perusahaan multinasional,
Keberanian pemerintah mengambil kebijakan tidak populis juga menjadi bahasan Dosen tetap di Departemen Ilmu Administrasi Publik - Fakultas Ilmu Administrasi - Universitas Brawijaya, Fadillah Putra, Ph.D yang menyampaikan materinya setelah Kwon.
Fadillah mengambil contoh keputusan nekat Presiden Amerika Serikat, John Fitzgerald Kennedy yang membuat megaproyek Apollo 11 di saat negara tersebut dalam keterpurukan ekonomi. Beruntung, niat tersebut mendapat dukungan kongres. Hasilnya, AS menjadi negara pertama yang mengirim warganya mendarat di bulan dan berhasil melakukan lompatan besar di bidang iptekin.
“Dibutuhkan ekosistem kebijakan yang mendukung iptekin. Kita telah melihat dari contoh ekstrim tersebut dan juga contoh dari Korsel Kwon, bagaimana menciptakan tata kelola pemerintahan yang mendukung iptekin,” kata Fadillah yang memaparkan kuliah dengan tema “Epistemic Governance, Policy Ecosystem for Sustainable STI-Based Development”.
Dia menyayangkan kebijakan di Indonesia yang belum sepenuhnya mendukung iptekin. Masih terdapat keputusan yang terhambat oleh petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis (juklak dan juknis) dalam unsur pemerintahan.
Menurut Fadillah, Indonesia mestinya punya motivasi lebih kuat dibanding Korsel untuk memajukan iptekin. “Di Korsel ada kebutuhan internal untuk memulai kemajuan, sedangkan di Indoneia selain kebutuhan internal juga kebutuhan internasional, yakni komitmen menerapkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs),” ujarnya.
Demi mencapai target SDGs tersebut, maka Indonesia wajib mengembangkan pemerintahan epistemik (epistemic governance). “Ada tiga aspek di dalam konsep pemerintahan epistemik. Pertama higher education atau tata kelola pendidikan tinggi yang bukan hanya melakukan riset fundamental, tetapi riset yang lebih penting untuk kemajua teknologi,” katanya.
Kedua, memproduksi pengetahuan (knowledge production). Peran Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sangat penting mengarahkan penerapan iptekin di Indonesia. Saatnya semua kalangan, memandang politik dan kebijakan publik mesti sejalan dan saling mendukung untuk kemajuan iptekin. “BRIN bisa menjadi pusat lembaga penelitian pemerintahan yang lain,” ujar Fadillah.
Terakhir, policy learning menjadi tempat bagi kepentingan politik dan sains saling belajar. Politik akan belajar mengambil keputusan dari sains dan sebaliknya, sains akan belajar dari politik. Akan ada manfaat besar ketika pemerintahan epistemik dapat diterapkan di Indonesia. “Ketika epistemic governance sudah tercipta, maka yang pertama akan menikmatinya adalah dunia industri dan masyarakat. Saat itu bangsa kita akan meraih kemajun dari iptekin sama seperti halnya Korsel,” katanya. (*)