TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah kelompok masyarakat sipil mengkritik skema carbon offset yang akan dibahas dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk perubahan iklim atau KTT COP26. Skema ini merupakan salah satu solusi yang dipromosikan berbagai negara untuk mengatasi perubahan iklim global.
Perwakilan Greenpeace Indonesia, Khalisah Khalid, mengatakan skema perdagangan emisi karbon merupakan praktik greenwashing.
"Setiap perusahaan yang mengumumkan dana untuk melindungi hutan melalui skema carbon offset hanya melakukan greenwashing jika mereka tidak berkomitmen secara sungguh-sungguh untuk menurunkan emisi karbon," kata Khalisah dalam keterangan tertulis, Senin, 1 November 2021.
Menyitir situs waste4change.com, skema carbon offset ialah tindakan meniadakan emisi CO2 yang dihasilkan di satu tempat dengan tindakan pengurangan emisi di tempat lain. Sebuah perusahaan sebagai penghasil emisi karbon dapat melakukan investasi offset alih-alih secara aktif mengurangi emisinya sendiri.
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, skema carbon offset justru berpotensi melahirkan ketidakadilan bagi masyarakat rentan, termasuk masyarakat adat. Apalagi di tengah ketidakadilan hukum Indonesia dalam mengakui dan melindungi masyarat adat serta wilayah adat.
"Mekanisme tersebut potensial menjadi tunggangan baru para perampas wilayah adat," kata Rukka dalam keterangan tertulis yang sama.
Rukka mengatakan, negara-negara dan komunitas global mestinya tak lagi berkutat pada mekanisme pasar. Namun, harus serius membicarakan mekanisme dukungan yang berbeda terhadap berbagai inisiatif dan praktik masyarakat adat dalam menjaga, melindungi, dan mengelola wilayah adat dan sumber daya yang telah berkontribusi langsung pada penurunan emisi karbon.
Manajer Kampanye Iklim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Yuyun Harmono mengatakan, penerapan mekanisme pasar dan perizinan alam bisa menambah rantai panjang konflik dengan masyarakat. Ia mengatakan skema ini berpotensi menjadi perampasan tanah dan hutan secara sistemik dengan kedok hijau dan pemulihan iklim.
Menurut Yuyun, pemerintah masih memiliki pilihan yang jauh lebih menguntungkan, seperti mendorong pendanaan iklim nonpasar. "Negara-negara maju harus memenuhi janji pembiayaan perubahan iklimnya, seperti Amerika yang berkomitmen memberikan pendanaan sebesar Rp 1.415 triliun setiap tahunnya," kata Yuyun.
Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI) mengatakan Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah untuk menekan emisi karbon, seperti menekan laju deforestasi dan kebakaran hutan serta lahan. Dia mengatakan deforestasi di Indonesia justru meningkat dari yang sebelumnya 1,1 juta hektare/tahun pada 2009-2013 menjadi 1,47 juta hektare/tahun pada 2013-2017.
Mufti menilai klaim penurunan laju deforestasi dari pemerintah dalam dua tahun terakhir tidaklah relevan. Sebab, terjadi pergeseran area-area yang terdeforestasi dari wilayah barat ke wilayah timur.
Mufti mengatakan, deforestasi secara besar terjadi hanya di beberapa lokasi. "Sedangkan di tempat lain, deforestasi menurun bukan karena upaya yang dilakukan pemerintah, melainkan karena sumber daya hutannya yang sudah habis," ucapnya.
Dia melanjutkan, begitu pula dengan kebakaran hutan dan lahan. Pada 2021, kata Mufti, ada sekitar 229 ribu hektare hutan dan lahan yang terbakar di Indonesia.
Bahkan dua tahun sebelumnya atau pada 2019, luas hutan dan lahan yang terbakar mencapai 1,6 juta hektare, dengan 1,3 juta hektare atau 82 persen di antaranya terjadi di Pulau Sumatera dan Kalimantan. "Ironisnya, di dua pulau itu pula izin-izin industri ekstraktif menguasai hutan dan wilayah adat," kata Mufti.
Dalam sejumlah kesempatan sebelumnya, pemerintah Indonesia menyatakan tengah menyiapkan infrastruktur kebijakan perdagangan karbon.
BUDIARTI UTAMI PUTRI
Baca: Forest Watch Indonesia Bantah Klaim Jokowi soal Penurunan Deforestasi