TEMPO.CO, Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menentang wacana perdagangan karbon dan karbon offset, yang akan dibahas dalam konferensi perubahan iklim COP26, yang digelar 1 dan 2 November 2021 di Glasgow. Walhi menilai hal itu hanya dalih dari negara besar untuk berkelit dari tanggung jawab yang lebih besar.
"Kami menganggap mekanisme offset dan dagang karbon justru akan menimbulkan ketidakadilan selanjutnya, dalam konteks perundingan dan kesepakatan dalam perubahan iklim," kata Manajer Kampanye Keadilan Iklim Walhi, Yuyun Harmono, dalam diskusi daring, Ahad, 31 Oktober 2021.
Yuyun mengatakan mekanisme offset dan dagang karbon mengalihkan perhatian dari upaya sesungguhnya untuk menuntut tanggung jawab dari negara maju. Yaitu agar mereka menurunkan emisi secara drastis di negara mereka sendiri.
Hal itu juga mengalihkan tanggung jawab negara maju untuk menyediakan pendanaan bagi negara-negara berkembang, untuk mentransformasi ekonomi negara berkembang supaya dia tidak mereplikasi modal ekonomi negara maju yang sangat tinggi karbon.
"Jadi arah menuju pembangunan yang rendah karbon itu juga harus didorong dengan penyediaan pendanaan yang kongkrit," kata Yuyun. Hal itu, sudah sesuai dengan mandat dari Paris Agreement.
Hingga saat ini, Yuyun mengatakan tak ada niat baik dari negara-negara maju untuk secara serius membahas ini. Komitmen untuk penyediaan US$ 100 miliar dari 23 negara maju itu tak pernah tercapai. Laporan terakhir menyebut hanya 80 persen yang itu dipenuhi dan itu pun kebanyakan digunakan untuk membiayai aktivitas projek yang berbasis pada mitigasi.
"Artinya adaptasi perubahan iklim itu dianaktirikan. Celakanya lagi sebagian besar itu diberikan dalam bentuk utang, bukan dalam bentuk hibah. Ini artinya bukan kerja sama internasional, tapi upaya untuk menjebak negara-negara berkembang dalam mekanisme utang," kata Yuyun.
Padahal selama ini, Yuyun mengatakan faktor pemberat negara-negara berkembang untuk mentransformasi ekonominya adalah beban utang yang harus dibayarkan. Hal ini tak pernah dibahas secara serius dalam pertimbangan negara-negara maju dalam menyusun kerjasama internasional mereka. "Mekanisme perdagangan karbon dan offset itu menjadi celah dalam upaya penurunan emisi yang lebih drastis dan cepat," kata Yuyun.
Baca juga: Selandia Baru Janji Pangkas 50 Persen Gas Rumah Kaca