"Bayangan saya, kita membangun model komunitas responsif yang mendobrak semua model-model sistem pendidikan yang usang dan membebaskan diri dari belenggu proses pembelajaran yang baku sekarang. Kita mesti mengintegrasikan sekolah formal dan non-formal," ujarnya.
Imam menyebut, transformasi digital kini telah meniscayakan perubahan di segala sektor, termasuk pendidikan. Pandemi Covid-19, semakin mempercepat perubahan tersebut dan seluruh dunia harus mampu beradaptasi. "Namun apa yang terjadi di Indonesia? Pendidikan kita masih mengalami stagnasi. Kita masih terjebak dalam sekat-sekat, sehingga kaku dan tidak bergerak dinamis mengikuti perubahan zaman," ujarnya.
Menantu dari pakar politik Miriam Budiardjo itu.
ini menilai, di samping membangun penguatan karakter, perlu ada terobosan model pendidikan yang inklusif, partisipatif, dan responsif menyikapi perubahan zaman.
"Perlu pendidikan partisipatif agar kita tidak melulu tersekat oleh tembok sekolah. Perlu pendidikan yang responsif, membuka diri terhadap intervensi siapa saja demi kebaikan," ujar dia.
Di Kampung Ilmu misalnya, anak-anak bisa belajar dimana saja, pengajar itu tidak selalu mesti guru. "Ada anak ITB yang mengajar multimedia misalnya. Kami juga undang pengajar dari Amerika lewat daring," ujar pria kelahiran Purwokerto, 15 Februari 1960.
Ketua Pengurus Yayasan Nurani Dunia itu berharap dynamic hybrid education network yang didukung oleh orang-orang kreatif bisa terbentuk. "Kita harus out of the box, menghimpun orang-orang abnormal. Kita harus mendorong perubahan di dalam dunia pendidikan," tuturnya.
Saat ini, pemerintah getol menggelorakan program Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka. Namun, menurut Imam, program tersebut masih jauh dari jalan memerdekakan itu sendiri. "Di Kampung Ilmu misalnya, ada mahasiswa elektro mau belajar berkebun misalnya, tapi dari kampusnya bilang harus linier. Saya bilang, ini ada penindasan lagi aturan kurikulum, dipaksa harus sesuai jurusan, wong kepengin bebas tapi kampusnya enggak bebas," ujar dia.
Imam berharap program-program pemerintah tak sebatas jargon saja. "Saya sih mimpinya nanti model-model Kampung ilmu yang memungkinkan semua orang untuk berkontribusi, baik melalui darat maupun udara bisa diterapkan di dunia pendidikan kita," ujarnya.
Pemerintah diharapkan membuat program yang substansial dan menjawab problematika pendidikan di Indonesia. "Jangan cuma tebar-tebar pulsa yang enggak jelas peruntukannya. Saya kira anggaran triliunan itu mubazir. Daripada bagi-bagi pulsa, mending membangun Wi-Fi zone yang memungkinkan siapa saja bisa belajar di sana," ujar Imam Prasodjo.
Baca juga: Kampus Merdeka: Ideal Secara Konsep, Beban Bagi Program Studi
DEWI NURITA