TEMPO.CO, Jakarta - Hasil sigi Indikator Politik Indonesia menunjukkan mayoritas pemilih muda yakni Gen-Z dan milenial menaruh perhatian serius pada krisis iklim. Responden beranggapan bahwa fenomena krisis iklim semakin mengkhawatirkan, memicu dampak lebih luas, dan pemerintah yang dinilai paling bertanggung jawab untuk mengatasi persoalan tersebut.
"Namun yang juga menarik, survei menunjukkan partai politik dianggap belum memberi perhatian dan belum menjadikan krisis iklim sebagai prioritas dalam agenda politik. Hampir semua partai hanya meraih nilai di bawah 5 persen," ujar Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia (IPI) Burhanuddin Muhtadi, dalam konferensi pers, Rabu, 27 Oktober 2021.
Survei yang bekerjasama dengan Yayasan Indonesia Cerah ini menyasar anak muda dengan rentang usia 17-35 tahun yang tersebar di seluruh Indonesia.
Berdasarkan survei ini juga terungkap bahwa mayoritas atau 82 persen responden anak muda di Indonesia mengetahui isu perubahan iklim. Sebanyak 85 persen responden menyebutkan, korupsi merupakan isu pertama yang paling mereka khawatirkan. Dan isu kedua yang dikhawatirkan ternyata adalah kerusakan lingkungan sebanyak 82 persen responden.
Survei menunjukkan, mayoritas responden anak-anak muda menilai perubahan iklim merupakan masalah serius yang dampaknya telah mereka rasakan saat ini. Sebanyak 63 persen responden setuju bahwa cuaca yang lebih panas pada musim kemarau merupakan peristiwa yang paling dirasakan, diikuti perubahan cuaca mendadak 60 persen, dan 35 persen hujan serta banjir yang lebih sering terjadi.
Survei ini dilakukan pada 9-16 September 2021. Populasi survei ini adalah seluruh warga negara Indonesia yang sudah berumur 17 tahun hingga 35 tahun ketika survei dilakukan. Dalam survei ini jumlah sampel sebanyak 4020 responden yang terdiri atas 3.216 responden usia 17-26 tahun dan 804 responden usia 27-35 tahun.
Responden terpilih diwawancarai lewat tatap muka oleh pewawancara yang telah dilatih. Penarikan sampel menggunakan metode stratified multistage random sampling dan memiliki toleransi kesalahan (margin of error--MoE) sekitar kurang lebih 1.8 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Hasil survei juga mengungkapkan sejumlah faktor yang menjadi penyebab perubahan iklim di Indonesia, yaitu penggundulan hutan (deforestasi) sebagai faktor terbesar, sumber emisi gas rumah kaca seperti gas buang sektor transportasi dan PLTU batu bara serta pertambangan termasuk dalam 10 besar penyebab perubahan iklim.
Dampak dari perubahan iklim yang telah dirasakan tersebut, menurut 53 persen responden, telah mendatangkan kerugian bagi warga Indonesia. Karena itulah, mayoritas responden menyatakan, semua pihak harus ambil bagian dalam mengurangi dampak perubahan iklim, dan menitikberatkan peran pemerintah untuk mendorong upaya mengatasi persoalan ini.
Pemerintah disebut harus berinvestasi mengembangkan sumber energi terbarukan seperti angin dan surya karena lebih bersih ketimbang batu bara. "Mayoritas responden juga setuju bahwa untuk mengatasi perubahan iklim, emisi dari industri dan perusahaan yang memproduksi bahan bakar fosil harus dikurangi," ujar Burhanuddin.
Wali Kota Bogor sekaligus politisi PAN, Bima Arya Sugiarto merespon hasil temuan ini sebagai otokritik terhadap pemerintah untuk lebih peduli dengan isu perubahan iklim.
“Ini adalah survei bersejarah di Indonesia. Hari ini di Indonesia, isu-isu lingkungan, sustainable development, dan climate change belum menjadi isu populis untuk para politisi saat pemilu dan Pilkada," ujar Bima dalam acara peluncuran survei tersebut.
Menurutnya, politikus kebanyakan yang mungkin tidak paham bagaimana menjangkau pemilih pemula dan muda, sehingga memilih isu lain dan lebih banyak menjadikannya sebagai gimmick semata. "Padahal anak muda suka yang substansial dan isu climate change seksi di mata anak muda," ujar Bima.
Politikus Partai Gerindra Rahayu Saraswati menyebut hasil survei ini menjadi bekal yang akan dibawanya untuk memperjuangkan isu krisis iklim di partai. "Meskipun, realitanya sedikit sulit untuk memperjuangkan isu ini di lapangan. Tetapi banyak partai yang membicarakannya. Berbicara dengan mayoritas DPR sekarang yang usianya di atas milenial banyak yang belum melihat ini sebagai hot issue," Rahayu Saraswati.
Burhanuddin Muhtadi menyebut, temuan ini semestinya bisa menjadi peluang strategis bagi partai-partai untuk memulai melibatkan berbagai stakeholders masyarakat sipil dalam penyusunan agenda krisis iklim ke dalam platform partai guna menarik perhatian dan fokus dari blok strategis pemilih muda dan pemula kalangan Gen-Z dan milenial yang mencapai sekitar 80 juta atau 40 persen dari populasi pemilih di Pemilu 2024.
"Gen Z dan milenial merupakan proporsi terbesar dari populasi Indonesia. Proses peremajaan sedang terjadi di Indonesia. Sangat penting memotret pendapat dan memetakan isu perubahan iklim dan politik anak muda. Jika partai politik dapat menyerap aspirasi anak muda, maka demokrasi Indonesia akan membaik,” ujar Burhan.
Direktur Eksekutif CERAH, Adhityani Putri, berharap hasil survei ini dapat membuka mata para politisi dan pengambil kebijakan dan menjadi bukti bahwa krisis iklim perlu menjadi agenda politik utama di Indonesia. "Sebagaimana krisis iklim menjadi isu politik di berbagai negara besar di dunia,” ujar Putri.
Baca juga: Perubahan Iklim: Kesehatan Lansia di Indonesia Paling Terdampak