TEMPO.CO, Jakarta - Akademi Jakarta kembali menggelar Kuliah Kenangan Sutan Takdir Alisjahbana atau dikenal juga dengan nama STA Memorial Lecture.
STA Memorial Lecture diselenggarakan untuk selalu menghidupkan semangat
dan cita-cita Sutan Takdir Alisjahbana, yang merupakan ketua pertama Akademi Jakarta.
Semangat polemisSTA, demikian Sutan Takdir biasa dikenal, menunjukkan bahwa keterbukaan Indonesia sebagai bangsa adalah mutlak diperlukan demi kemajuan bangsa dan negara.
Kondisi itu tercermin dari sikap STA dalam Polemik Kebudayaan 1935 yang menerima kritik dan berpolemik dengan banyak tokoh bangsa, seperti Soetomo, Adinegoro dan Ki Hadjar Dewantara.
Ketua Akademi Jakarta, Seno Gumira Ajidarma dalam pengantarnya mengatakan Indonesia sebagai bangsa membutuhkan polemik yang sehat, seperti yang ditunjukkan STA.
"Agar suara yang kritis menggugah tajam, membangun, cerdas dan menyadarkan tidak pernah absen dalam perjalanan bangsa," kata Seno Gumira dalam STA Memorial Lecture yang digelar secara daring, Kamis 21 Oktober 2021.
Akademi Jakarta, kata Seno, akan selalu menyediakan STA Memorial Lecture sebagai forum munculnya suara kritis yang menggugah dan tajam.
Adapun Musdah Mulia yang tampil pada kuliah kenangan ini,adalah seorang intelektual, aktivis perempuan, peneliti dan penulis yang fokus pada bidang keagamaan, terutama pada aspek pembaruan Islam.
Anggota Akademi Jakarta, Bambang Harymurti yang menyampaikan pengantar tentang sosok Musdah Mulia, menyebut Musdah adalah sosok intelektual yang berani menyampaikan kebenaran yang ia yakini.
Sikap itu sudah ditunjukkan Musdah Mulia sejak lama. Terutama ketika Musdahberhadapan dengan para anggota FPI dan melawan sikap-sikap radikal dan fundamentalis agama.
Dalam kuliahnya, Musdah menyampaikan Sutan Takdir Alisjahbana merupakan sosok guru baginya. Mundur ke 30 tahun silam, wawasan Musdah terbuka melihat dunia yang penuh keindahan, kebudayaan.
Sutan Takdir Alisjahbana mengenalkan kebudayaan modern yang punya tiga pilar yakni ilmu, teknologi, dan ekonomi. Musdah yakin, ketiganya sejalan dengan cita-cita Islam.
Musdah mulai berpikir kritis, mempertanyakan banyak hal. Agama salah satunya. Hasil survei Pew Research Center sejak tahun 2015 menemukan bahwa Indonesia merupakan negara religious, sebab mayoritas penduduk meyakini bahwa agama sangat penting. Hasil ini dirilis pada tahun 2020.
Hal ini juga berkaitan dengan kemajuan suatu negara. Survei yang sama mengungkapnya. Penduduk negara berkembang cenderung menganggap agama sebagai suatu hal yang penting di dalam kehidupan.
Berbeda dengan penduduk negara maju yang cenderung mengabaikan agama. Kesimpulannya, tingkat religiusitas negara berbanding terbalik dengan kemajuan ekonomi dan tingkat kebahagiaan penduduknya.
Musdah menilai ihwal ini sebagai sesuatu yang ironis. Menurutnya, seharusnya negara dengan penduduk yang religius bisa lebih maju. Sebab, penduduknya berpegang kuat pada nilai-nilai spiritual.
Kondisi ini akan sangat berguna dalam melakukan kerja-kerja kebudayaan dan membangun peradaban lebih maju. Tak perlu jauh-jauh, Indonesia misalnya.
“Paradoks antara kehebohan beragama dan kebangkrutan moralitas. Rumah-rumah ibadah penuh di mana-mana, apalagi ketika perayaan hari-hari besar agama,” begitu kata Musdah.
Sayangnya, hal itu tak menjamin tumbuhnya kualitas spiritual dan integritas moral masyarakat. Seperti pada berita-berita utama yang lalu lalang di media, kasus-kasus pelanggaran hukum dan kriminal tak pernah absen.
Beragam kekerasan berbasis agama dipertontonkan secara gamblang di berbagai tempat. “Umumnya terjadi bersamaan dengan event-event politik.”
Terkadang, kata Musdah, media juga mengalami “rabun jauh” terhadap tindakan pelanggaran hak asasi manusia oleh negara dan pemerintah, pencemaran dan eksploitasi lingkungan oleh korporasi raksasa atas izin pemerintah.
Persoalan lain, adalah ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial di tanah air yang sudah berada di titik nadir. “Bayangkan, kekayaan empat orang terkaya di Indonesia setara dengan gabungan 100 juta orang termiskin,” ungkapnya.
Musdah menyebut, bukan agama yang salah dalam hal ini. Melainkan mayoritas penganut agama yang belum mampu menghayati agama sebagai jalan agar bebas dari beragam krisis kemanusiaan.
“Karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, tudingan lalu tertuju kepada agama Islam. Sejatinya, semua penganut agama mengalami krisis serupa,” ujarnya.
Bagaimana Potret Keagamaan Masyarakat?
Lalu, Musdah melontarkan pertanyaan, seperti apa potret keagamaan masyarakat. Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat atau PPIM UIN Syarif Hidayatullah pada tahun 2020 menemukan bahwa potret keagamaan masyarakat didominasi oleh pemahaman keagamaan yang konservatif.
Konservatisme sendiri merupakan filsafat politik yang mendukung nilai-nilai tradisional. Meskipun secara umum narasi agama konservatif dapat disebut aman, namun posisinya lebih rentan mendekati corak radikal.
“Dan biasanya dari level radikal, tinggal selangkah lagi menuju aksi terorisme.” Menurut Musdah, seseorang yang punya pemahaman konservatif apabila diprovokasi sedikit, akan bergeser menjadi radikal.
Musdah menyoroti potret keagamaan kelompok milenial yang bahkan terlihat lebih buram. Pada 2018 lalu, PPIM berdasarkan penelitian di 18 kota mengungkapkan bahwa ada narasi ekstremisme dan ujaran kebencian yang beredar sangat massif di kalangan milenial.
Dengan begitu, cara beragama mereka pun berubah. Kehadiran media sosial telah dengan sangat signifikan menggantikan peran pendidikan agama dalam keluarga, lembaga pendidikan, dan organisasi keagamaan.
“Lemahnya literasi keagamaan inilah yang berkontribusi besar terhadap kerentanan generasi milenial terhadap kecenderungan intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme agama,” tekan Musdah.
Pentingnya Menguatkan Literasi Agama
Musdah juga pertanyakan bagaimana menjadikan religiusitas penduduk sebagai modal sosial bagi pemerintah untuk memajukan Indonesia. Hal paling mungkin menurutnya adalah dengan penguatan literasi agama.
Ia meminjam penyataan Diane L More, definisi literasi agama yakni kemampuan melihat dan menganalisis titik temu antara agama dengan kehidupan sosial, politik, dan budaya dari beragam sudut pandang.
“Orang yang melek agama akan memiliki pemahaman dasar mengenai sejarah, teks-teks sentral, kepercayaan serta praktik tradisi keagamaan yang lahir dalam konteks sosial, historis, dan budaya tertentu,” lanjut Musdah.
Bagi Musdah, agama seharusnya menjadi penggerak perubahan bagi manusia untuk meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan, serta kualitas spiritualitasnya. Gongnya tak lain agar tegaknya nilai-nilai keadilan, kesetaraan dan kemaslahatan untuk siapapun tanpa terkecuali.
Melalui penguatan literasi agama, penganut agama memahami dan mengamalkan nilai-nilai agama secara benar. Ada 5 isu yang dinilai Musdah dapat diperkuat oleh literasi agama, meliputi:
- Meyakini agama sangat mengedepankan cinta-kasih serta penghargaan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan
- Meyakini agama mengajarkan prinsip keadilan dan kesetaraan manusia, termasuk keadilan dan kesetaraan gender
- Meyakini agama mewajibkan sikap peduli terhadap sesama, khususnya kelompok rentan
- Meyakini agama mengajarkan kecintaan terhadap negara dan tanah air
- Meyakini agama mengajarkan kepedulian terhadap pelestarian lingkungan.
Lalu bagaimana upaya mewujudkan penguatan literasi keagamaan?
Menurut Musdah, dapat diwujudkan melalui upaya konkret rekonstruksi budaya. Selain itu, dengan upaya peningkatan ekonomi tanpa diskriminasi juga sangat penting. Terakhir, upaya reinterpretasi ajaran agama.
“Karena pada ujungnya, agama semata untuk kemaslahatan manusia,” tuturnya.
ANNISA FEBIOLA
Baca juga: Respons Musdah Mulia yang Dituding Mau Hapus Mata Pelajaran Agama