TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan pemberantasan korupsi di era pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi tak ada tindakan nyata dan serius. "Pemberantasan korupsi beberapa waktu ke belakang hanya sebatas lip service. Hanya sebatas tulisan di atas kertas tanpa ada implementasi yang konkrit," ujar peneliti ICW Kurnia Ramadhana melalui konferensi pers daring pada Kamis, 21 Oktober 2021.
Kurnia mengatakan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan dalang di balik runtuhnya pemberantasan korupsi di Indonesia. Ia memaparkan tanda pertama kemunduran KPK adalah adanya hak angket KPK.
Saat itu, DPR memaksa KPK membuka rekaman pemeriksaan Miryam S. Haryani yang masuk dalam pusaran kasus korupsi pengadaan e-KTP. Padahal bukti pemeriksaan hanya boleh dibuka di persidangan.
"DPR bersikeras, bahkan mengatakan kalau tidak diberikan maka diajukan hak angket KPK," kata Kurnia. Buntut dari sikap KPK yang konsisten tak mau membuka rekaman pemeriksaan itu, hak angket pun bergulir.
Tanda KPK menurun selanjutnya adalah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36 Tahun 17, yakni tentang pelanggar kode etik, yaitu Firli Bahuri yang terpilih sebagin pimpinan KPK dan munculnya revisi UU KPK.
"Yang mana proses dan muatannya bermasalah. Kental dengan nuansa politik dan menjadi pintu masuk untuk menyesatkan tafsir terkait alih status pegawai," ucap Kurnia.
Untuk itu, ICW meminta pemerintah segera mengambil langkah konkrit atas pemberantasan korupsi. Hal itu perlu dilakukan untuk mencegah semakin merosotnya skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia.
Sebagaimana diketahui, skor IPK Indonesia pada 2020 berada di angka 37 atau turun dibanding pada 2019 yakni 40. "Belum ada kebijakan yang konkret juga dari pemerintah soal penguatan KPK maka kami meyakini IPK kita akan anjlok diikuti dengan indeks demokrasi dan lain-lain," kata peneliti ICW.
Baca juga: 2 Tahun Jokowi - Ma'ruf dan Paradoks Janji Politik
ANDITA RAHMA